TINJAUAN BUDAYA
DALAM ARSITEKTUR DAN KOTA
Oleh
Eko Budihardjo
Dalam era globalisasi di dunia tanpa batas ini, dengan perkembangan teknologi yang amat pesat, bermunculanlah karya tokoh-tokoh arsitek kelas dunia yang fenomenal di berbagai belahan dunia. Tidak hanya di negara-negara Barat seperti The Walt Disney Concert Hall di Los Angeles karya Frank Gehry yang dirancang dengan bantuan 30.000 gambar komputer. Atau Menara Markas besar Swiss Re di London karya Norman Foster yang berbentuk peluru raksasa (ada juga yang mengkonotasikannya dengan mentimun raksasa). Akan tetapi juga di negara-negara Arab seperti Menara Dubai karya Skidmore, Owings dan Merrill (SOM) yang memecahkan rekor sebagai arsitektur jangkung tertinggi di planet ini.
Atau bahkan di Republik Rakyat Cina seperti Stadion untuk Olimpiade tahun 2000 yang dirancang oleh Herzog dan de Meuron dan dikenal sebagai sarang burung raksasa.
Karya-karya yang provokatif, lepas dari ikatan konvensi, dan tanpa preseden itu disebut Charles Jeneks sebagai ‘Iconic Building’ (2005). Kita terbiasa menyebutnya dengan istilah ‘Arsitektur Mercu Suar’ dan ada pula yang mengistilahkannya ‘High-end Architecture’.
Karya-karya arsitektur garda depan dengan bahasa arsitektur yang sama sekali baru, sarat dengan loncatan quantum itu mencerminkan hasil pertarungan global yang makin dahsyat. Hampir semua pemimpin pemerintahan di dunia berambisi untuk mengangkat nama dan status negaranya masing-masing melalui pencitraan arsitektur. Bukan hal aneh, mengingat di masa lampau pun kecenderungan serupa juga terjadi. Misalnya Perancis yang membanggakan Menara Eiffel-nya, Inggris yang mengunggulkan Gedung Parlemen dengan Big Ben-nya, Australia yang amat tenar dengan Sydney Opera House-nya, Malaysia yang amat gencar mempromosikan Petronas Tower-nya.
Daftar bisa diperpanjang dengan bermunculannya karya-karya yang berlandaskan prinsip “Architecture is archeology of the future”.
Sudah terlalu lama orang bosan dengan merebaknya wabah ‘Manhattanization’ atau ‘McDonaldization’ dalam wujud bangunan-bangunan tinggi kotak kaca (glass box buildings) yang serba tunggal rupa. Bangunan-bangunan yang anonim itu, tidak bisa ‘bicara’ tanpa makna budaya dan tidak menyentuh senar-senar emosi.
Kiranya perlu disegarkan kembali bahwa arsitektur merupakan amalgam seni dan teknologi yang direkatkan dengan idealisme sosio-kultural dan energi kreatif.
Roger K. Lewis dalam bukunya “Architect?” (1998) secara eksplisit mengingatkan bahwa “Architecture is a building which is poetic in conception, aesthetically inspiring, structurally firm, environmentally sensitive, and meticulously crafted”. Kata-kata kunci: puitis, mengilhami, sensitif, kriya, merupakan ‘mantra’ yang mesti direngkuh oleh setiap arsitek sebagai pengawal peradaban.
Ketika organisasi pprofesi arsitek di Inggris pertama kali didirikan dengan nama Institute of British Architects di tahun 1834, disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah “To uphold ourselves the character of Architects as men of taste, men of science, and men of honour” (Conway & Roenisch, 2005).
Tujuan yang mulia seperti di atas masih tetap valid sampai saat ini, mengingat kenyataan adanya arsitek-arsitek yang melakukan pelacuran profesional.
Misalnya arsitek yang merancang bangunan baru dengan melecehkan, atau bahkan membongkar pusaka budaya (cultural heritage) yang ada. Atau arsitek yang bukan berul-betul mengemban amanah sebagai designer, namun puas hanya sekadar sebagai signer, karena perancangannya sudah ada sebelumnya, sebagai tiruan, contekan atau pesanan.
Padahal berbeda dengan dokter atau dukun bayi yang kesalahannya bisa dikubur bersama bayinya, tidak ada kuburan bagi karya arsitektur yang salah atau keliru.
Karya-karya arsitektur garda depan dalam Millennium Ketiga di era global ini disamping mengunduh pujian juga menumbuhkan gerakan kontra. Para arsitek muda dari negara-negara berkembang mengungkap tentang masalah jatidiri atau identitas, tradisi, dan kesinambungan budaya. Mereka mengritik keras perilaku tokoh-tokoh arsitek tandatangan (signature architects) yang tidak peduli terhadap iklim setempat, kearifan lokal, budaya lokal, dan sumberdaya lokal.
Muncul kecurigaan bahwa para arsitek asing yang berkelas dunia itu memanfaatkan negara-negara berkembang sebagai tempat bermain-main mereka dalam menerapkan gagasan eksperimentalnya dalam berarsitektur.
Para arsitek muda di Republik Rakyat Cina, misalnya, menuding bahwa arsitektur yang diciptakan oleh para arsitek asing itu sangat ‘tidak-China’, terlalu banyak menggunakan baja yang merupakan bahan langka, dan teramat mahal biayanya (Christian Dubrau, “New Architecture in China”, 2008).
Ketegangan antara tradisi versus modernisasi, masa lampau versus masa depan, jatidiri regresif versus progresif, budaya lokal versus budaya global, memang selalu akan terjadi. Tidak terkecuali dalam disiplin ilmu dan profesi arsitektur.
Ketegangan yang kreatif semacam ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para arsitek di dunia tanpa batas ini. Dalam tulisannya berjudul “The Pleasure of Architecture” yang disunting oleh Andrew Ballantyne dalam buku “What is Architecture?” (2002), Bernard Tschumi mengatakan bahwa semakin banyak dan semakin canggih ketegangannya, semakin besarlah peluang untuk menggayuh ‘the pleasure of architecture’.
Sebagaimana Peter Eisenman, dia banyak berkiprah bersama Jacques Derrida dalam menyusun gagasan filosofis yang autentik dalam penciptaan karya-karyanya agar hidup, hangat, menyenangkan, merangsang, menstimulasi, mengilhami. Tujuan akhirnya adalah kebahagiaan umat dan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan manusia.
Sisi gelap dari imperialisme budaya akibat tekanan global yang dirisaukan oleh arsitek-arsitek muda dari negara-negara berkembang itulah yang harus disiasati dengan cerdas. Dibutuhkan ‘SMART architects’ dalam pengertian memiliki Sensitivity, Multiculturalism, Awareness, Respect, Tolerance.
Harus diakui dengan jujur, beberapa arsitek kelas dunia pun sudah mencoba untuk mengakomodasi dambaan untuk menggunakan alur historis, acuan budaya, bahkan referensi bernuansa agama dalam perancangan arsitekturnya.
Cesar Pelli, misalnya, dengan jujur mengatakan bahwa denah gedung Petronas Tower di Kuala Lumpur diilhami dari bentuk-bentuk dekoratif yang Islami.
Bandara Internasional Jeddah juga dirancang oleh arsiteknya sebagai transformasi bentuk tenda-tenda yang biasa digunakan di negara Arab.
Namun sebagian besar yang lain nyaris meninggalkan kaidah bahwa arsitektur mesti kontekstual, mempertimbangkan iklim, budaya, teknologi dan tuntutan sosial masyarakat terhadap ‘sense of historical continuity’ (Conway & Roenisch, “Understanding Architecture”, 2005).
Frank Gehry pun secara terbuka mengakui bahwa Museum Guggenheim yang dibangun tahun 1993 – 1997 di Bilbao, Spanyol (yang menular sebagai ‘Bilbao Effct’) seolah menjadi laboratorium untuk penciptaan Concert Hall di Los Angeles yang dibangun lima tahun kemudian (Charles Jencks, “The Iconic Building”, 2005). Berarti bentuk dan struktur arsitektur yang serupa tetapi dibangun pada dua negara yang berbeda, mengingkari prinsip genius loci dan sense of place.
Sekelompok arsitek Asia yang risau dengan kecenderungan homogenitas arsitektur dan kolonialisme budaya, bergabung dalam gerakan perlawanan. Mereka merasa kekayaan dan keberagaman peninggalan budaya masa silam yang adiluhung dilecehkan begitu saja.
Borobudur – Prambanan di Indonesia, Mesjid Suleyamaniye di Turki, Mohenjodaro di Pakistan, Forbidden City di Cina, seolah tidak ada artinya dalam pandangan arsitek Barat. Keberagaman bentuk-bentuk puitis atap bagonjong Minangkabau, tongkonan Toraja, honay Papua, joglo Jawa, dilirik dengan pandangan merendah. Falsafah dan konsep lokal yang terkandung dalam Tri Hita Karana Bali atau Kawruh Petungan Jawa, seolah terkubur begitu saja, cenderung dilecehkan oleh arsitek-arsitek berpendidikan Barat.
Fumihiko Maki dari Jepang, William Lim dari Singapura, Sumet Jumsai dari Thailand, Charles Correa dari India, merupakan figur-figur yang berpengaruh dalam pembentukan Asian Plannning and Architectural Collaboration (APAC) pada tahun 1980-an.
Pengaruhnya cukup besar, karena bahkan nama-nama besar seperti Paul Rudolph, Kenzo Tange, Ioh Ming Pei, Foster Associates, dan lain-lain semenjak itu lantas berupaya keras menciptakan karya arsitektur yang tanggap terhadap tempat, iklim, budaya, dan aspirasi lokal (baca buku Hasan-Uddin Khan, “Contemporary Asian Architects”, 1995).
Pemberian penghargaan Aga Khan Award for Architecture terhadap karya-karya unggulan dengan versi keunikan lokal dan regional, mentransformasi nilai-nilai vernacular, mengacu pada penciptaan identitas, juga sangat membesarkan hati.
Demikian juga dengan penerbitan majalah Mimar: Architecture in Development yang mengupas karya-karya arsitektur dalam kaitannya dengan kebudayaan, mempromosikan pertukaran lintas-budaya dan menyuguhkan sudut pandang yang majemuk atau pluralistic viewpoints.
Arsitek dan arsitektur di dunia tanpa batas ini mesti juga mengembangkan diskursus yang menyangkut isu-isu hangat seperti misalnya pemanasan global, perubahan iklim, pencegahan dan penanganan bencana.
Burj Khalifa atau Menara Dubai sudah diproklamasikan sebagai gedung terjangkung di dunia yang tahan gempa.
Pemerintah Taiwan bergegas ‘menyelamatkan’ prestasi Menara Taipei 101 (yang semula mmperoleh predikat prestisius itu) dengan mentransformasikannya menjadi ‘zero energy highest skyscraper in the world’ atau ‘Hypergreen Tower’.
Bagaimana dengan Indonesia?
Yang terasa sangat mengejutkan, biarpun sebetulnya juga cukup masuk akal, dalam buku ‘The Best Architecture in the World’ (2000) hanya ada dua yang masuk dari Indonesia. Yang pertama adalah Kompleks Citra Niaga di Samarinda, yang memadukan sektor formal dengan sektor informal, dan peka terhadap iklim tropis. Yang kedua adalah kawasan kampung Ledok Code di Yogyakarta yang memanfaatkan bahan lokal, tenaga lokal, artisan lokal, secara swasembada, namun tidak kehilangan nuansa estetiknya.
Kiprah gerakan alternatif seperti Arsitek Muda Indonesia dan arsitek nyeker (barefoot architects) yang mengikuti jejak Romo Mangun (Yusuf Bilyarta Mangoenwijaya), menambah optimisme ke depan.
Biarlah negara-negara adidaya dan negara-negara kaya berlomba-lomba membangun proyek-proyek mercusuar atau Iconic Buildings yang serba superlatif (paling tinggi, paling besar, paling luas, paling kuat, paling indah....).
Arsitek-arsitek di segenap pelosok tanah air memanfaatkan celah secara inovatif, kalau bisa menjadi pencipta kecenderungan (trend-setter). Kita pancangkan tekad dengan visi jangka panjang berkontribusi optimal agar Indonesia menjadi negara yang maju dan modern, tanpa kehilangan ruh dari tradisi yang sudah berusia panjang, demi kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSATAKA
Baker, William T. 2008. Architectural Excellence in a Diverse World Culture. Victoria: Image Publishing Group.
Ballantine, Andrew. 2002. What is Architecture? London: Routledge.
Conway, Hazel & Roenisch, Rowan: Understanding Architecture. London: Routledge.
Dubrau, Christian. 2008. New Architecture in China. Singapore: DOM Publishers.
Friedman, Thomas L. 2009. Hot, Flat, and Crowded. London: Penguin Books.
Hill, Jonathan. 2006. Immaterial Architecture. New York: Routledge.
Jencks, Charles. 2008. The Iconic Building. New York: Rizzoli.
Jodidio, Philip. 2005. Architecture: Art. Munich: Prestel Verlag.
Jodidio, Philip. 2007. Architecture in the Emirates. Koln: Taschen.
Khan, Hasan-Uddin. 1995. Contemporary Asian Architects. Koln: Taschen.
Lewis, Roger K. 1998. Architect? Cambridge: The MIT Press.
Piotrowski, Andrzej & Robinson, JW. 2001. The Discipline of Architecture. Minneapolis: UM Press.
Siling, Sabine Thiel, ed. 2005. Icons of Architecture: the 20th Century. Munich: Prestel.
dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar