11.5.10

KOTA SEBAGAI OBYEK & KONTEKS ARSITEKTUR

KOTA SEBAGAI OBYEK & KONTEKS ARSITEKTUR
SANDI A. SIREGAR

Kota sebagai lingkungan binaan
Dalam Encyclopedia Americana dideskripsikan: “........ city merely means a relatively dense aggregation of population of considerable size, in which the conditions of life can be described as urban in contrast with the rural life of the open country.” Dalam hal ini kota adalah suatu fenomena civilized society. Yang paling umum “kota” dikaitkan dengan status administratif pemerintahan dengan batas-batas wilayah administratif. Dalam bahasa Indonesia “kota” berasal dari “koeta” (Sansekerta) yang mengacu ke tempat kekuasaan atau pemerintahan. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara “town”, yaitu any collection of houses larger than a village, dengan “city”, yaitu a large town. (Roget’s Dictionary) Bahasa Belanda menyebut town dengan “stad”, sedangkan city dengan “grote stad” yang berarti kota besar. Pada beberapa bahasa, kata untuk ‘kota’ juga menggambarkan dinding pertahanan, misalnya huruf Cina “ch’eng” berarti kota sekaligus dinding, dan kata Inggris “town” aslinya berarti hedge atau enclosure.
Pendekatan arsitektur ke dalam masalah perkotaan melalui aspek fisik-spasialnya. Winkler Prins Encyclopaedie menyebutkan: “Stad is een plaats, waar mensen meer of minder dicht samenwonen” , yaitu sebagai fenomena tempat yang dihuni. Ahli sejarah arsitektur Kostof, mengajukan beberapa pengertian yang semuanya dimulai dengan “Cities are places .......”, salah satunya adalah “Cities are places made up of buildings and people.” (Kostof, 1992, hal.37-40) Maka “kota” dilihat pertama-tama sebagai entitas fisik-spasial yang kongkrit, terdiri atas berbagai bangunan, pohon, tiang listrik, sungai, jalan, jembatan, dan lain-lain. Elemen-elemen fisik-material itu tertata sedemikian membentuk ruang-ruang luar sekaligus juga dalam bangunan. Di ruang-ruang itulah penghuni kota melakukan kegiatannya.
Identitas kota-kota Indonesia?
Banyak orang risau atas perkembangan kota-kota di Indonesia yang dianggap tidak berkarakter. Maka muncul gagasan-gagasan mengenai identitas kota yang idealistik dan ‘mono-characteristic’, seperti ‘indonesiawi’, ‘berakar pada tradisi’, atau bertolak dari dikhotomi seperti ‘Indonesia vs non Indonesia’, ‘asli vs asing’, ‘tradisional vs modern’, ‘barat vs timur’. Tetapi banyak konsep ‘ke-indonesia-an’ itu justru menepis realitas spesifik tiap tempat yang telah ada, lalu bangunan-bangunan peninggalan jaman kolonial pun dipandang tidak perlu dipertahankan. Padahal realitas itu mestinya merupakan issue awal untuk upaya memahami urbanitas Indonesia kontemporer.
Latar belakang sejarah kota-kota di Indonesia menentukan karakter atau identitas masing-masing, yang merefleksikan jalinan antara tradisi-budaya dengan lingkungan fisik-spasial. Maka sehubungan dengan perbedaan latar belakang itu, sulit dikatakan kota-kota di Indonesia merupakan fenomena yang homogen. Tentu saja kota-kota tersebut dapat ditinjau dalam konteks regional atau lokal. Begitu pun, walau kota-kota di Jawa berakar dari budaya Hindu, pengaruh Islam dan kolonialisme barat yang lebih kemudian juga besar, sehingga tidak ada gambaran kultural tertentu yang dominan. Apabila eksistensi elemen-elemen yang serupa pada kota-kota di Jawa dapat dikenali, misalnya alun-alun dan kabupaten, kauman, pecinan, perkembangan masing-masing telah menyebabkan kota-kota itu secara individual spesifik.
Latar belakang kota-kota tradisional
Para pendatang awal dari dunia barat agaknya tidak mengenali suatu konglomerasi permukiman dengan 50 ribu penduduk, yang pada abad 15-17 bukan suatu pengecualian di kepulauan nusantara, sebagai kota. (Evers, 1982, hal.8) Mungkin lingkungan hijau tanpa dinding jelas sebagai batas kota memberi kesan seperti kumpulan desa-desa. (Reid, 1980, hal.237). Juga sifat kurang permanennya ‘mengusik’ konsepsi barat tentang permukiman di Indonesia ratusan tahun lalu. Kota-kota pesisir tergantung pada kemajuan perdagangan laut, sedangkan kota-kota pedalaman, yang bertumpu pada pertanian, pada kekuasaan raja. (Nas, 1979, hal.154) Kekuasaan kota sejalan dengan monarki, yang terekspresikan pada tata letak kompleks istana dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Kota-kota menghilang bersama dengan suatu dinasti, atau tiba-tiba pindah ke tempat lain, termasuk bangunan-bangunan (dari kayu) (Van Mook, 1958, hal.277).
Kota Majapahit bukan kota yang keseluruhannya dikelilingi dinding, tetapi kompleks yang terdiri dari kelompok-kelompok rumah atau kampung kecil (compounds) dengan pelataran-pelataran. (De Graaf, Pigeaud, 1974) Bagian tengah dihuni oleh kepala kampung dengan keluarganya, dikelilingi rumah-rumah kerabat dan pelayan. Pelataran ditanami pohon-pohon, sehingga memberi kesan taman luas yang tepi-tepinya melebur ke persawahan dan perladangan. Dinding memang ada, khususnya mengelilingi istana penguasa (Pont, 1923). Dan istana penguasalah, bukan kota keseluruhannya, yang menyimbolkan pusat negara (Evers, 1982, hal.8). Beberapa ciri dari jaman Majapahit terdapat pada kota-kota di Jawa. Dengan kompleks keraton atau kabupaten dan alun-alun sebagai embrio, tata letak kota didasarkan pada orientasi kosmologis poros utara-selatan. Keraton dengan alun-alunnya tidak hanya mengenalkan aksialitas dan rektangularitas tata kota Jawa, tetapi sekaligus menentukan dimensi awal grid kota.
Ketika Majapahit jatuh pada akhir abad ke 15, kota-kota pelabuhan telah didominasi oleh pedagang-pedagang muslim yang telah ada sejak berabad di daerah pesisir utara Jawa. Transisi yang terjadi, setidaknya dalam hal bangunan dan seni, secara umum berlangsung damai. (Stutterheim, 1926) Omwallingsarchitectuur, prinsip dasar arsitektur keraton dan rumah-rumah Jawa, bahkan dituruti dalam pembangunan masjid-masjid (Jo-Santoso, 1981, hal.23). Posisi masjid diintegrasikan ke dalam tatanan alun-alun, keraton, pasar, poros utara-selatan. Perubahan paling radikal di daerah pusat kota adalah lenyapnya bangunan-bangunan sakral yang terbuat dari batu dan bata. (Pont, 1923, hal.123).
Perkembangan kota di jaman kolonial
Hanya beberapa kota di Indonesia yang sejak awal benar-benar mengikuti konsep urban Belanda. Salah satunya adalah Batavia, dimulai dengan pembangunan benteng Belanda di di muara sisi timur sungai Ciliwung awal abad ke 17, kemudian jaringan kanal yang mengikuti tradisi Belanda. Di pinggiran kota adalah perkampungan etnik Jawa, Ambon, Cina, dan sebagainya. Karena dianggap tidak sehat, kota tua Belanda itu ditinggalkan (1809). Suatu lingkungan Eropa yang baru pun dibangun, disebut Weltevreden, dengan dua lapangan (sekarang Medan Merdeka dan Banteng) yang dikelilingi bangunan-bangunan pemerintahan dan sosial.
Walau pun banyak kota yang ada kini mulai dibangun pada masa kolonial, inisiatif pola awal tatanannya dilakukan oleh penguasa pribumi. Belanda kemudian menyisipkan eksistensinya melalui bangunan-bangunan seperti benteng, kantor, dan rumah-rumah pejabat. Demikianlah, di kota-kota yang sudah ada maupun yang dibangun dari awal, elemen-elemen Belanda dimasukkan -superimposed- ke dalam tipomorfologi tradisional. Kota-kota tipikal kabupaten di Jawa pada jaman kolonial mencerminkan politik ‘indirect rule’ kolonialisme Belanda. Elemen-elemen pribumi (kabupaten, masjid, rumah-rumah pejabat pribumi dan kerabat bupati), dan rumah serta kantor asisten residen Belanda (dan penjara!) berada bersama-sama di inti kota. Kabupaten dan ‘istana’ asisten residen Belanda terletak berhadapan di sisi utara dan selatan alun-alun.
Pada tahun 1901 ratu Belanda mengumumkan Politik Etis, disusul dengan program desentralisasi. Tetapi desentralisasi kekuasaan kolonial itu sebetulnya malah meningkatkan kontrol kolonial di tingkat lokal, terutama di kota-kota. Ketika mulai tahun 1905 beberapa kota diberi status gemeente, pemerintahan kota praktis dikuasai oleh Belanda. Kota-kota gemeente inilah yang mengalami banyak perubahan, dari tradisional Indisch berkembang menuruti konsep modernistik Belanda. Tiap gemeente pun segera membuat rencana pengembangan kota (uitbreidingsplannen). Apabila di negeri-negeri koloni Inggris atau Perancis, lingkungan-lingkungan Eropa yang baru dan kota lama pribumi terpisah dengan tegas (Old Delhi - New Delhi!), kawasan baru yang modern (‘Belanda’!) di kota-kota Indonesia tetap menginduk ke kota lama (alun-alun). Ciri-ciri tradisional kota lama pun berbaur dengan elemen-elemen modern Eropa-Belanda. Gedung-gedung dibangun dengan berbagai corak modernistik maupun dengan identitas lokal/tradisional yang baru.
Perkembangan kota modernistik
Pada tahun-tahun awal dekade ‘50-an perusahaan-perusahaan serta properti Belanda lainnya dinasionalisasi, tanah dan rumah-rumah milik perusahaan maupun pribadi dijual atau diambil alih, maka kawasan permukiman Eropa menjadi hunian kalangan elit Indonesia. Di tahun ‘50-an inilah mulai diterapkan perencanaan kota bertumpu atas konsep zoning fungsional dan land-use. Kenneth Watts, seorang ahli PBB di Jakarta, dapat dianggap pembawa konsep modernistik dalam perencanaan kota di Indonesia pasca kemerdekaan. “Masterplan” didefinisikan: “.... a land use plan which indicates in broad lines the best possible place for home, work and recreation to the future benefit of the people who live in the city.” (Soepangkat, 1980) Forum Antar Kota di Surakarta (1958) sepakat menerapkan prinsip zoning dalam perencanaan kota (land use planning).
Dalam paruh pertama dekade ‘60-an, perkembangan politik mengarahkan proyek-proyek prestisius, sementara itu berlangsung pendudukan lahan-lahan kota secara tidak sah, yang nantinya membentuk lingkungan-lingkungan kampung kumuh. Ketika Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama orde baru dimulai (1969), semua program pembangunan kota dikoordinasikan dalam kerangka itu, dan perencanaan kota pun disejalankan dengan pembangunan ekonomi. Sejak usaha di bidang perumahan digalakkan pada awal dekade ‘70-an, lingkungan-lingkungan estat tumbuh pesat. Karena tidak diiringi perencanaan kawasan yang lebih menyeluruh, terbentuklah kantong-kantong perumahan kota yang terisolasi satu sama lain. Keadaan itu sedikit banyak merupakan akibat dari sikap memisahkan ‘perkotaan’ dan ‘perumahan’. Perumahan ditekankan pada produksi unit rumah, sedangkan perkotaan didasarkan pada prinsip ‘mesin’ yang berfungsi, bukan wadah kehidupan.
Pada awal dasawarsa ‘80-an, pembangunan fisik terhambat resesi ekonomi, tetapi sektor perumahan justru didorong menjadi stimulator ekonomi. Bisnis real estat pun mulai beroperasi di luar batas-batas kota yang dianggap lebih murah. Hasilnya adalah lingkungan-lingkungan perumahan yang tersebar, membentuk semacam mosaik suburban yang tidak utuh, terlepas dari struktur kota induknya. Suburbanisasi itu ditunjang oleh rencana-rencana memindahkan beberapa fungsi, misalnya kampus-kampus, ke pinggiran dan luar kota. Kota-kota satelit baru mulai dibangun juga di sekitar kota-kota besar. Sementara itu di kawasan kota berlangsung proses densifikasi yang intens. Memasuki dekade ‘90-an, sejalan dengan perkembangan ekonomi, pembangunan fisik skala besar pun meningkat. Pembangunan dalam skala superblock marak di kota-kota besar.
Kota sebagai lingkungan hunian
Program perumahan rakyat (public housing) yang sistimatis baru dilancarkan pada dekade kedua di kota-kota gemeente dalam rangka pengembangan kota. Rumah-rumah kecil (kleinwoningbouw) dibangun sebagai bagian lingkungan-lingkungan hunian yang baru, terjalin bersama dengan rumah-rumah lebih besar. Untuk menangani program-program tersebut pemerintah gemeente membentuk dinas-dinas khusus yang disebut grondbedrijf (urusan pertanahan), woningbedrijf (urusan perumahan) dan bouwbedrijf (urusan bangunan). Thomas Karsten, seorang arsitek perencana kota terkemuka, menganjurkan penataan lingkungan perumahan kota berdasarkan pada tingkat pendapatan ekonomi.
Salah satu kritik dalam masalah perumahan pada masa kini adalah justru penggolongan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok tingkat ekonomi, yang kemudian dijadikan dasar untuk produksi dan pen-zoning-an lingkungan-lingkungan perumahan kota. Ekses negatif prinsip itu telah dicoba diatasi dengan menetapkan proporsi produksi tipe-tipe besaran rumah, tetapi pelaksanaannya ternyata tetap berdasarkan segregasi ekonomis yang amat kuat. Pembangunan perumahan berorientasi pasar menghasilkan kawasan-kawasan perumahan luas hanya untuk satu kelas masyarakat tingkat ekonomi tertentu. Tentu hal ini ada hubungannya dengan kecenderungan gaya hidup masyarakat perkotaan masa kini, sehingga banyak lingkungan perumahan menjadi makin eksklusif (gated-community), yang bagaimana pun merupakan gejala sosiologis kurang sehat. Oposisi perumahan ‘mewah’ dan ‘sederhana’ mencerminkan cara berpikir dualistik atau dilematik tentang kota sebagai lingkungan hunian, yang di satu pihak merefleksikan polarisasi dan dekomposisi dalam kota-kota di Indonesia, di pihak lain simplifikasi realitas kota kontemporer yang sebetulnya amat kompleks.
Perdebatan tentang pembangunan ‘vertikal vs horisontal’ telah dimulai sejak inisiatif pembangunan rumah susun pada paruh kedua tahun 70-an. Masalah sosial budaya menjadi faktor penolakan tinggal di rumah susun, yang dianggap hanya cocok untuk kehidupan yang ‘individualistik’. Tetapi pembangunan vertikal agaknya tidak terelakkan akibat kebutuhan perumahan dan keterbatasan lahan kota. Pengembangan rumah susun juga memicu isu-isu menyangkut individualitas (privat) dan kolektifitas (publik). Rumah susun dikategorikan sebagai collective housing, yang terwujud dalam bagian-, benda-, dan tanah-bersama. Banyak aspek perkotaan yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan rusun, yang tentunya berbeda dengan landed housing. Bagi masyarakat Indonesia mestinya ‘kolektivitas’, yang dikandung oleh rumah susun, bukanlah hal yang asing. Sementara itu pembangunan RS dan RSS jauh di luar kota mengandung paradoks, karena penghuni harus menerima konsekuensi jauh dari tempat pekerjaan, sedangkan golongan mampu justru menikmati kemudahan tinggal di tengah kota.
Istilah “kampung” di jaman kolonial dikenakan untuk permukiman pribumi, yang disebutkan bersih dan tertata rapi, maka dijadikan obyek sight-seeing turisme kota. (Vereeniging tot nut ...., 1898, hal. 20) Akibat tidak tersentuh pelayanan perkotaan, kondisi kampung-kampung memburuk, maka program kampongverbetering (perbaikan kampung) dilancarkan. Setelah kemerdekaan, program perbaikan kampung dilaksanakan kembali pada akhir ‘60-an di Jakarta, disusul oleh Surabaya dan kota-kota lain, tetapi kemudian dihentikan karena dinilai terlampau menekankan aspek teknis-fisik, dan mengandung penggusuran terselubung, karena penduduk menjual miliknya yang telah menjadi lebih baik.
Kota sebagai arsitektur
Sebagai entitas fisik-spasial, suatu kota terbentuk mulai dari embrionya dan tumbuh pada berbagai tingkat skala besaran. Kemudian terjadi intervensi demi intervensi (bongkar-bangun) terus-menerus terhadap berbagai elemen fisik kota tersebut. Kegiatan mengecat rumah, memperbaiki lisplang atau jendela, membuat pagar, membongkar dinding, mengubah fasad, membangun gedung kecil dan besar, membuat jalan, menanam pohon dan rumput, dan sebagainya, adalah bentuk kolektif masyarakat (bersama-sama, bergenerasi) dalam pembentukan kotanya. Jadi, kota sebagai lingkungan binaan perlu disikapi sebagai fenomena transformasi, tumbuh dan berubah, secara cepat atau pun lambat : The city, ..........., is to be understood here as architecture. ..... architecture as construction, the construction of the city over time. (Rossi, 1982, hal.21) Secara akademis pertanyaannya memang ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ suatu kota mempunyai bentuk tertentu.
Keadaan suatu kota sekarang ini adalah rekaman sesaat proses perubahan terus-menerus itu. Tatanannya merupakan ujud kondisi dan sikap penghuninya bergenerasi, sejak awal embrionya. Banyak kota Indonesia menempuh tiga tahap besar: tradisional-Indisch, kolonial-gemeente, dan pasca kemerdekaan. Dalam proses itu ada bagian-bagian kota yang bertahan atau berubah. Banyak gedung dipertahankan, lainnya dengan mudah dibongkar tanpa protes masyarakat. Pada umumnya bangunan-bangunan rumah paling banyak mengalami perubahan bentuk maupun fungsi. Pembongkaran suatu blok kota, atau kebakaran suatu kampung, kemudian muncul di atasnya kompleks perbelanjaan dan perkantoran mewah, tentu mencuatkan isu ekonomis-politis. Jaringan jalan biasanya bertahan, kecuali ada intervensi besar-besaran terhadap tissue yang telah ada.
Bermacam alasan untuk mengubah bentuk dan mempertahankan elemen-elemen kota yang sudah ada. Dalam banyak hal keputusan-keputusan intervensi dalam pembangunan fisik kota memang bersifat ekonomis-sosial-politis. Isu perkotaan seringkali menyangkut masalah ruang, masalah public versus private dalam ruang kota, masalah hak-hak warga kota memanfaatkan ruang kota, masalah kebijakan dan proses pengambilan keputusan, masalah ‘pergulatan’ penghuni kota untuk hidup sejahtera di lingkungan kota, masalah menjadi warga kota yang semestinya. Peristiwa-peristiwa huru-hara disertai perusakan lingkungan fisik kota mungkin merupakan pelampiasan kekesalan masyarakat, sedikit banyak merupakan reaksi terhadap kondisi ruang kota. Setidaknya, bentuk dan tatanan lingkungan fisik kota dapat merupakan ujud suatu keadaan, sistim politik dan ekonomi yang berlaku, ketidak-adilan, kecurangan, ketidak-berdayaan, dan sebagainya.
Kota seharusnya dibangun sebagai wadah untuk kehidupan berbudaya. Maka mestinya Central Business District (CBD) bukan hanya menyangkut berdagang, bekerja, dan berbelanja. Wilayah pusat kota justru harus dibentuk menjadi lingkungan yang lengkap untuk berkehidupan madani, tempat museum, teater, perpustakaan, dan lain-lain berada. Ruang-ruang publik kota perlu dibuat agar mendorong kebersamaan dan komunikasi. Peran arsitek –dan wawasan arsitektur!- akan makin diperlukan dalam pembentukan ruang-ruang urban yang nyata bagi kemaslahatan masyarakat perkotaan. Demikianlah, arsitektur bukan luxury dan mestinya tidak disikapi demikian.
_______________________________________________________________________
Solo, 31 Maret 2010.
Sandi Siregar

DAFTAR PUSTAKA

• DE GRAAF, H.J., PIGEAUD, T.; DE EERSTE MOSLIMSE VORSTENDOMMEN OP JAVA, Studien over de Staakundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw; Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1974
• EVERS, Hans-Dieter; “Cities as a Field of Anthropological Studies in Southeast Asia”, SYMPOSIUM ON INDONESIA AS A FIELD OF ANTHROPOLOGICAL STUDY, Leiden, 1982.
• JO-SANTOSO, Suryadi; “Dinamika Perkembangan Arsitektur Jaman Prakolonial di Pulau Jawa”, dalam: CIPTA no. 57, 1981.
• KOSTOF, Spiro; THE CITY ASSEMBLED, the Elements of Urban Form through History; Thames & Hudson, London, 1992.
• NAS, Peter J.; “De Vroeg-Indonesische Stad: een beschrijving van de stadstaat en zijn hoofdplaats”, dalam: HAGESTEIJN, Renee; STOEIEN MET STATEN; ICA Publikatie no. 37, Instituut voor Culturele Atropologie en Sociologie der Niet-Westerse Volken, Rijks Universiteit Leiden, 1979.
• PONT, H. Maclaine; “Javaansche Architectuur”, dalam: DJAWA nr. 3, Sept., 1923 & nr. 4, Dec. 1923.
• REID, Anthony; “The Structure of Cities in Southeast Asia; fifteenth to seventeenth centuries”, dalam: JOURNAL OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES vol. XI nr. 2 September, 1980.
• ROSSI, Aldo; THE ARCHITECTURE OF THE CITY; The Institute for Architecture and Urban Studies & the MIT, Cambridge, Massachusetts, 1982.
• SIREGAR, Sandi A.; BANDUNG – THE ARCHITECTURE OF A CITY IN DEVELOPMENT : urban analysis of a regional capital as a contribution to the present debate on Indonesian urbanity and architectural identity.; disertasi, KU Leuven, Belgia, 1990.
• VAN MOOK; “Kuta Gede”, daslam: WERTHEIM, W.F. (ed), THE INDONESIAN TOWN, Van Hoeve, the Hague, 1958.
• VEREENIGING TOT NUT VAN BANDOENG EN OMSTREKEN; Reisgids voor Bandoeng en omstreken met Garoet; De Vries &Fabricius, Bandoengt, 1898.

dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

Tidak ada komentar: