11.5.10

Bangunan Baru di Kawasan Lama Bersejarah: Sebuah Sikap Berkota

Bangunan Baru di Kawasan Lama Bersejarah: Sebuah Sikap Berkota
Bambang Eryudhawan
Solo 31/03/2010
corbusier@hotmail.com

Tiap generasi memiliki tanggung jawab untuk memelihara, merawat warisan budayanya, sekaligus ikut menyumbang karyanya sendiri menurut karakter jamannya masing-masing. Dalam prosesnya, kota melakukan seleksinya secara alamiah untuk menentukan keberlangsungan sebuah warisan budaya untuk terus hadir mewarnai wajah kota, atau harus dikorbankan demi kemajuan kota itu sendiri. Kota memang tak mengenal kata “pulang” dan hanya mengenal kata “berangkat.”
Sebagaimana kita masih memerlukan pahlawan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kota pun memerlukan bangunan dan kawasan bersejarah. Bangunan dan kawasan bersejarah tidak saja penting untuk dirinya sendiri, namun juga menjadi tolok ukur kemajuan bagi sebuah kota yang dinamis, berpikiran ke depan dengan senantiasa menyertakan kearifan masa lalunya. Artinya, bangunan dan kawasan bersejarah adalah sebuah pedoman membangun peradaban yang bertujuan menyejahterakan masyarakatnya hari ini dan esok.
Pada gilirannya, bangunan dan kawasan bersejarah harus mampu menjadi batu loncatan bagi penciptaan karya-karya baru, mengikuti jejak pendahulunya, untuk kemudian diharapkan dapat menjadi tolok ukur pula di masa depan. Sebuah kota yang hanya mengandalkan warisan budaya tanpa mampu melakukan transformasi konstruktif bagi pembangunan peradaban yang progresif tentu harus menghadapi situasi kemandegan yang tidak akan memberikan keuntungan jangka panjang pada masyarakatnya. Sebuah proses bunuh diri kebudayaan tak dapat dihindarkan justru pada saat warisan budaya hanya dipoles-poles bak barang antik dan gagal menjadi inspirasi bagi kelangsungan hidup warga kotanya.
Sebagaimana juga ketika sebuah kota dibangun dengan penuh resiko, maka dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya pun selalu diwarnai dengan berbagai pengambilan keputusan yang beresiko pula. Kearifan masa lalu yang diperankan oleh bangunan dan kawasan bersejarah harus dianggap sebagai rem bagi kendaraan peradaban, sementara pembangunan baru adalah gas-nya. Kota yang terlalu banyak menggunakan rem dengan sendirinya akan banyak menghabiskan enerji tanpa mencapai jarak yang semestinya. Kota yang terlalu banyak menggunakan gasnya (tanpa atau dengan sedikit rem) berpotensi mengalami benturan-benturan budaya yang akan meninggalkan luka dan cedera laten.
Keseimbangan keduanya akan menentukan nasib sebuah kota. Dan keseimbangan itu sangat ditentukan oleh masyarakat kota itu sendiri sebagai pengemudi sekaligus penumpangnya. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang secara individu dan kolektif mampu berbagi peran secara demokratis, terbuka dan transparan berkeadilan, mampu merumuskan peta perjalanan kebudayaannya ke depan (bukan ke belakang!) dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan banyak orang (jiwa dan raga).
Maka kota yang tidak percaya pada masa depan adalah kota yang tidak percaya diri. Sebaliknya, kota yang terlalu percaya pada masa depan adalah kota yang angkuh dan sombong. Keduanya tentu bukanlah karakter kota Solo. Perjalanan sejarah kota Solo adalah sebuah proses belajar yang dinamis (dengan penuh coba-ralat) untuk mengerem dan mengegas. Ada kalanya harus berhenti, ada kalanya harus melaju cepat, ada kalanya harus mengurangi kecepatan, dan ada kalanya harus menaikkan kecepatan untuk mengejar ketinggalan. Setiap langkah pengambilan keputusan itu harus dipandang sebagai upaya kota Solo untuk “berangkat”, maju ke depan (menurut rencana perjalanannya), karena kota tak mengenal “pulang.”
Walau pun ukuran kemajuan akhirnya sangat ditentukan oleh berbagai faktor internal dan eksternal, namun sikap yang harus dibangun di kota solo (termasuk kota-kota lain di Indonesia) adalah sikap konservatif-progresif yang konstruktif (bukan destruktif). Kemauan untuk senantiasa melihat hari ini ke depan dengan bekal kearifan masa lalu (sebagaimana dicontohkan oleh PB X, misalnya), maka ada harapan generasi masyarakat kota Solo hari ini mampu menyumbangkan karyanya di jaman ini bagi kekayaan peradaban kota Solo seratus, dua ratus, bahkan lima ratus tahun ke depan (sepanjang masa!).
Tak ada kata terlambat, kita bisa mulai hari ini. ----------------------------------------------


dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

Tidak ada komentar: