11.5.10

PENGARUH BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN RUANG KOTA SOLO SEJAK PERPINDAHAN KRATON S/D PERLETAKAN MOTIF DASAR KOTA KOLONIAL

PENGARUH BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN RUANG KOTA SOLO
SEJAK PERPINDAHAN KRATON S/D PERLETAKAN MOTIF DASAR KOTA KOLONIAL
Oleh: Kusumastuti

Judul diatas akan mengarahkan kita kepada ranah ilmu arsitektur, urban disain atau perencanaan kota. Lantas dimana posisi budaya dan pengaruhnya terhadap pembentukan ruang kota. Berbicara budaya berkaitan dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Kuntjoroningrat bisa dibedakan atas 3 (tiga) unsurnya, yaitu(1) ide-ide atau norma; (2) perilaku; (3) artefak/ karya material. Adapun Kuntowijoyo membedakannya menjadi 2 (dua) yaitu nilai-nilai dan simbol. Nilai dimasukkan oleh Kuntowijoyo kedalam kebudayaan yang tidak kasat mata sementara simbol budaya merupakan perwujudan nilai yang kasat mata. Ini artinya bahwa perilaku manusia dan artefak masuk kedalam simbol-simbol budaya; dan nilai-nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan simbol-simbol budaya. Arsitektur adalah simbol budaya, seperti bangunan ibadah (candi, masjid, gereja, vihara), bangunan pasar, bangunan bank, bangunan rumah sakit, Bandar udara, terminal bus, bangunan pabrik, kampus universitas dsb.
Dari berbagai simbol-simbol budaya (kebudayaan) yang ada di kota, kita mengetahui bahwa kehidupan kota adalah suatu sistem. Bagaimana komponen-komponen bagian-bagian kota memiliki peran masing untuk mendukung fungsi kota, apakah sebagai kota pusat produksi (pertanian, industry, pertambangan dsb) atau sebagai kota pusat administrasi pemerintahan atau kota perdagangan dan jasa atau bahkan sebagai kota pusat keagamaan. Semakin kompleks fungsi atau peran suatu kota akan menuntut suatu sistem fungsi infrastruktur, organisasi, kualitas sumber-daya manusia yang semakin kompleks pula.
Betapapun canggih kebudayaan suatu bangsa, tidak bisa dipungkiri masyarakat-bangsa harus selalu bersandar kepada pemikiran bagaimana mereka mampu mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan, mereka harus selalu berpikir bagaimana mereka menjaga cara hidup mereka agar mampu menemukan cara-cara baru agar bisa bertahan, berkembang dan membangun. Mereka akan selalu harus menjaga sumber-sumber penghidupan yang penting, menemukan dan mengembangkan cara-cara yang lebih efisien (enersi, waktu, biaya) agar mereka mampu mengembangkan dan melaksanakan pembangunan untuk memakmurkan masyarakat bangsanya.


Kota sebagai Habitat dan Oikos
Kota sejak awalnya tidak bisa dipisahkan dari kebun atau ladang tempat bertani, dari binatang-binatang ternak. Sehingga kota sebagai permukiman selalu membutuhkan tiga fasilitas pendukung yaitu kandang ternak, lumbung untuk cadangan makanan dan tungku api untuk dapur bersama. Dan yang tidak bisa dilupakan adalah permukiman haruslah di lokasi dekat dengan sumber air bersih. Inilah yang menjadikan suatu ruang layak dihuni (Hedegger: Bewohnbarmachung des Raumes dalam Santoso, 2002: 6). Maka sebagai suatu habitat manusia, dengan permukiman sebagai intinya yaitu makanan, perlindungan dan pengembang-
an kehidupan.
Oikos merupakan kesatuan territorial tempat proses produksi dan reproduksi sebuah kelompok masyarakat dapat berlangsung dengan baik dan berkelanjutan. Oikos adalah tempat sekelompok manusia hidup bersama; mengatur proses produksi; distribusi dan reproduksi bersama; lalu berkembang menjadi kesatuan cultural. Didalam oikos, bukan saja teknologi dan struktur sosial yang berkembang melainkan juga bahasa, seni dan etika.
Pengertian Oikos ini akan menjelaskan bagaimana esensi fungsi kota sebagai permukiman manusia yang berperadaban. Oikos memiliki empat aspek yang disebut “4H”; pertama aspek “humus”, yaitu sebagai tempat produksi, atau tempat bumi membagi kesuburan; kedua, aspek “home” sebagai tempat tinggal, tempat berlindung bagi yang tua-renta, tempat penyembuhan bagi yang sakit dan perempuan yang mengandung, tempat melahirkan dan tempat membesarkan anak-anak, serta tempat berlindung dari cuaca dan iklim/ bencana; ketiga,aspek “homo” (homo sapiens), yaitu sebagai tempat manusia mengembangkan diri sebagai makhluk berakal dan berbudaya, bukan sekedar makhluk yang mempertahankan diri; keempat, aspek “habitat”, yang berarti satuan territorial, tempat yang diperlukan sekelompok manusia untuk menjalankan proses produksi dan reproduksi kehidupan tanpa gangguan dari luar. Dengan kata lain, oikos adalah wadah teritorial tumbuhnya suatu peradaban (Santosa, Budi P.I., Parwoto 2002 dalam Santoso, 2002: 14).

DESA SOLO dari BANDAR PERDAGANGAN menjadi OIKOS
Abad XIII-XIV, ketika kerajaan Majapahit masih berada pada puncak kejayaannya di Jawa Timur, transportasi sungai dipedalaman Jawa telah berlangsung. Sungai Bengawan Solo pada saat itu adalah jalur utama perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa dengan laut, atau sebagai jalur keluar dan masuknya pertukaran ekonomi dan peradaban antara pedalaman dan dunia luar. Maka tidaklah mengherankan bila sepanjang sungai Bengawan Solo telah tercatat dalam sejarah terdapat 44 bandar perdagangan, artinya itu menggambarkan betapa kaya wilayah ini mampu menghasilkan komoditi perdagangan dan mampu menumbuhkan kegiatan perdagangan yang sangat ramai.
Di desa Solo yang merupakan daerah perdikan yang dikuasai oleh dinasti Kyai Solo, terletak sebuah bandar perdaganan dan dibawah kekuasaan dinasti ini. Keramaian perdagangan dan pelayaran di Bengawan Solo membuat desa Solo mengalami peningkatan kesejahteraan. Interaksi meningkat seiring dengan aktivitas niaga. Para pedagang yang menyusuri sungai sebagai distributor barang-barang dari luar dan menampung produk-produk domestik bukan hanya terdiri atas orang-orang pribumi, akan tetapi juga orang-orang asing seperti Cina, Arab dan Moor. Para pedagang ini sebagai pelaku bisnis aktif dipedalaman Jawa terutama sejak penghancuran pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa oleh Sultan Agung dan penerapan monopoli oleh VOC (Solo Heritage Society, 2003).
Para pedagang asing yang kemudian melayani perdagangan dan aktivitas niaga disepanjang Bengawan Solo ini juga memiliki tempat singgah tetap di setiap Bandar. Persinggahan tetap ini digunakan oleh mereka apabila harus menunggu persediaan produk yang akan dibawa, menjual habis produk yang diangkut dari daerah hilir maupun untuk menunggu arah angin bagi kepentingan pergerakan perahu mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, lokasi persinggahan itu berubah menjadi perkampungan orang asing. Di beberapa bandar sepanjang sungai itu bisa ditemukan sejumlah perkampungan pedagang Cina yang tinggal permanen disana. Di Solo, sejak tahun 1744 telah ditemui adanya komunitas pedagang Cina yang bertempat tinggal disebelah utara kali Pepe dan menjadi salah satu pusat penting yang memainkan peranan bagi perdagangan didaerah ini dan sepanjang Bengawan Solo (Solo Heritage Society, 2003).
Komunitas yang terdapat di desa Solo sendiri telah diketahui merupakan perpaduan antara komunitas pedagang dan petani. Para petani tradisional tidak banyak menunjukkan perkembangan; diduga hal ini berkaitan dengan letak desa Solo yang terletak di tanah yang rendah dan berawa-rawa . Sebelum pusat kekuasan kerajaan Mataram pindah ke desa Solo, di desa ini telah ada permukiman, antara lain kampung Sampangan yang dihuni etnis Madura, Kampung Banjar yang dihuni etnis Banjar Kalimantan, kampung Kebalen (etnis Bali), kampung Pasar Kliwon (etnis Arab). Maka kehidupan di desa Solo lebih kuat coraknya sebagai desa niaga atau komunitas dagang (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Solo sebagai bandar perdagangan merupakan daerah perdikan yaitu suatu daerah otonom yang tidak memiliki kuajiban membayar pajak kepada penguasa kerajaan. Dengan keramaian kegiatan niaganya maka bandar ini memberikan penghasilan yang sangat baik bagi dinasti yang menguasainya. Namun sejak terjadinya geger Pecinan 1741 dan terbakarnya kraton pusat kerajaan Mataram di Kartosuro maka kepercayaan raja terhadap adanya mitos yang menganggap istana yang sudah dihancurkan oleh musuh tidak lagi pantas untuk dipakai sebagai pusat pemerintahan menyebabkan dipindahkannya keraton ketempat lain. Setelah melalui berbagai pertimbangan para penasehat dan ahli nujum serta nasehat dari kapten VOC maka akhirnya dipilihlah desa Solo sebagai lokasi keraton yang baru.


Gambar 1a
Sumber: Babad Sala

Gambar 1b
Sumber: Babad Sala

APLIKASI KONSEP KOTA “KOSMOLOGI” JAWA DALAM KOTA SOLO
Sebagai ibukota yang baru, kota (kuthonegoro) Surakarta (nama lain kota Solo) mempunyai sejumlah kekhususan dibanding dengan semua ibukota kerajaan pendahulunya dari Kota Gede sampai Kartosuro. Dilihat dari pola dan morfologi pusat kotanya, Surakarta tampak meniru pola yang ada di Kartosuro. Ini berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena letak geografisnya, kedua kota ini mengambil Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan sebagai orientasi makrokosmosnya. Di Kartosuro hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada disebelah timur gunung Merapi. Sehingga kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang melintang alun-alun (lor) sejak pusat kota Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi spiritual. Di Surakarta sumbu timur-barat juga hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di tengah alun-alun karena adanya masjid Agung (Adrisijanti,2000).
Tatanan kosmologi kota kerajaan Surakarta diterangkan oleh Behren (1984: h dalam Solo Heritage Society, 2003) mengikuti pola lingkaran-lingkaran konsentris yang berpusat di Probosuyoso sebagai dalem Raja. Setiap lapis lingkaran diejawantahkan sebagai halaman-halaman kraton yang dibatasi oleh regol/kori. Lapis terdalam sampai Srimanganti, berikutnya Kamandungan, kemudian Brajanala, dan terakhir Sitinggil. Dengan demikian kraton mencitrakan dunia kosmos. (lihat gambar 2a dan 2b).



Gambar 2 a
Sumber : Timothy Earl Behrend, Kraton and Cosmos in Traditional Java, University of Wisconsin-Madison, 1982, halaman 182 (dalam Solo Heritage Society, 2003)

Gambar 2b
Sumber : Timothy Earl Behrend, Kraton and Cosmos in Traditional Java, University of Wisconsin-Madison, 1982, halaman 182 dalam Solo Heritage Society, 2003


KOTA SOLO sebagai KOTA KOLONIAL dengan “DUAL” KONSEP BUDAYA
Kota Solo merupakan sebuah peninggalan suatu perjalanan sejarah kebudayaan. Kuntowijoyo mengatakan, nilai-nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan. Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama terorganisasikan, pembagian kerja, dan hierarki sosial.
Sejak abad XVI orang-orang Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan mula-mula untuk berdagang, tapi kemudian menjadi penguasa. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pachuizen) untuk menimbun barang-barang dagangan (rempah-rempah). Pada awalnya mereka mendirikan di Banten, Jepara dan Jayakarta (Jakarta lama). Perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang memiliki modal besar mendirikan gudang-gudang dan kantor dagang, kemudian pada perkembangannya mereka membuat pengamanan dengan memodifikasinya menjadi benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat tinggal warganya. Sistem Pertahanan ini dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain .
Dalam kegiatan perdagangan ini, VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka juga berusaha menguasai daerah pedalaman. Kebetulan kerajaan Mataram pada abad XVII-XVIII pusatnya selalu di pedalam Jawa dengan wilayah yang sangat luas dan merupakan wilayah yang subur. Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan kerajaan Mataran mulai terasa diwilayah Surakarta sejak pengambil-alihan keraton Kartosuro oleh PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensi ini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tata-ruang kota kerajaan yang dibangun kemudian sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke desa Solo. Kecerdikan VOC menerapkan konsep kebudayaan lewat tata ruang kota Solo menghasilkan sebuah konsep kota “dualism” yaitu kota dengan dua konsep kebudayaan; konsep kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial. Hal ini tentu saja, untuk menghindari konflik / peperangan akibat konfrontasi budaya. Dibiarkan simbol-simbol budaya tetap berdiri dalam ruang, wadah kehidupan ibukota negara sementara VOC memperkuat cengkeraman kekuasaannya lewat pembangunan-pembangunan infrastruktur pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak-barak militer sambil mereka melakukan pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan (tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian yang tidak adil dan intervensi pada konflik-konflik keluarga keraton bahkan pengaturan kehidupan keluarga raja.
Konsep kota kolonial tidak bisa lepas dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan keputusan (yang terjadi dinegara jajahan) terjadi di negara induk. Artinya di negara jajahan didominasi oleh sistem nilai, model, dan penyelesaian-penyelesaian masalah perkotaan di masyarakat metropolitan kolonial (lihat gambar. ). Para perencana kolonial tidak mempeduli-
kan dan cenderung menolak sistem nilai tradisional yang dipegang oleh penduduk pribumi. Di negara-negara jajahan dibawah Belanda dimulai ketika VOC menguasai perdagangan komoditi pertanian di Indonesia. Komoditi-komoditi yang dikuasai Belanda merupakan komoditi-komoditi pasar dunia, seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila, karet dsb. Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep yang disebut “founded Settlement” atau cikal-bakal permukiman kolonial Belanda. Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemen-elemen bangunan yang menganut pedoman dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari Netherland yang diawasi oleh Gubernur Jendral, Residen dan para insinyur. Ini berhubungan dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini menunjukkan ketergantungan masyarakat yang dijajah dengan akibat penekanan fungsi militer dan administrasi.


Sumber : Solo Heritage Society (2003), Rekonstruksi dan Analisis Sejarah.

Gambar peta kota Solo tahun 1857- Tata Ruang Kota dengan konsep “dual” konsep budaya
Sumber: Solo Heritage Society (2003)

DAFTAR PUSTAKA
Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Jendela: Yogyakarta.
Kuntjoroningrat.1994-edisi 2. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.
Kuntowijoyo.2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Mizan: Bandung.
Sayid, RM. 1984. Babad Sala. Rekso Pustoko: Solo
Santoso, Jo.2002. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Centropolis: Jakarta.
Solo Heritage Society, 2003. Sejarah Dan Morfologi Kota Konflik: Dari Periode Kolonial-Orde Baru. (suatu hasil penelitian yang tidak/belum dipublikasikan).



dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

Tidak ada komentar: