Perpustakaan & PoligigiPerpustakaan & Poligigi
Arsitek Prinsipal : Dpavilion
Contertainer, Dialog dengan Nusantara.
Suatu pagi di Kota Batu, Jawa Timur. Dengan latar belakang Gunung Panderman, tepatnya di tepi jalan kembar Sultan Agung yang agak sepi dan dingin, terjadilah sebuah rendezvous, pertemuan antara dua sosok yang baru saat itu bertemu.
Contertainer-Container
N: permisi, bolehkah saya sedikit berdialog dengan anda?
C: silahkan, sebenarnya yang lebih berhak berbicara tentang saya adalah arsiteknya, si Edwin Nafarin/dpavilion architects, juga Kamawardhana Heksa Putra atau Kartika Ciputera. Tapi karena menurut Barthes: “pengarang (termasuk arsitek juga) telah mati”, maka saya sebagai karya arsitektur juga bisa berbicara atas nama diri saya sendiri dengan anda. Saya adalah subjek yang otonom.
N: perkenalkan, saya Nusantara, anda?
C: Nusantara? Sepertinya saya pernah dengar, wacana yang sedang mencuat akhir-akhir ini ya. Nama saya Contertainer.
N: boleh juga, nama yang menarik, tapi mengapa nama anda Contertainer? Saya ingin tahu sejarahnya.
C: karena saya adalah sebuah hybrid, hasil perkawinan silang antara Container dan Entertainer. Container adalah material pembentuk diri saya, Entertainer adalah misi sosial saya. Material dan misi saya terlihat “berbeda” di sini, di Batu. Materi saya berbeda karena menggunakan container, sedangkan misi saya sebagai Perpustakaan dan Poli-gigi gratis (untuk hiburan/entertainment bagi rakyat jelata) membuat saya merasa terlibat dalam kegiatan kemanusiaan.
N: oke, jika melihat material anda, anda merasa me-Nusantara atau tidak?
C: oohh, rasanya tidak, saya tidak berpikir sejauh itu. Saya toh tidak terbuat dari kayu atau bahan alami yang biasanya digunakan di arsitektur Nusantara. Kalau anda lihat arsitektur Nusantara seperti Jawa, Dayak, Batak, Toraja dan lain-lain, bukankah kayu menjadi material utamanya?
N: saya punya pandangan yang sedikit lain, saudara Contertainer. Arsitektur Nusantara dahulu memakai bahan kayu karena di masa itu kayu adalah material yang melimpah, masih banyak hutan yang bisa diambil kayunya tanpa mengganggu keseimbangan ekologis. Lain dengan di masa sekarang, ketika kayu adalah bahan yang semakin langka dan mahal, sehingga menggunakan bahan kayu belum tentu bisa disebut me-Nusantara.
C: iya, semenjak manusia makin tinggi peradabannya dan merasa “berkuasa” atas alam, kayu-kayu dibabat tanpa kompromi dari hutan dan akhirnya mengakibatkan bencana pemanasan global, banjir, kekeringan, tanah longsor.
N: nah, saya rasa bahan container bekas yang anda pakai justru lebih me-Nusantara, karena bahan itu sepertinya lebih melimpah di masa perdagangan bebas abad ini, ketika barang-barang perlu diangkut dari satu tempat ke tempat lain dari dan ke seluruh penjuru dunia.
Kolong-Panggung
C: terimakasih atas penilaiannya yang inspiratif. Ehm, mengapa anda terus memandangi saya? Saya jadi merasa tidak enak.
N: tidak apa-apa kok, saya melihat satu lagi sisi ke-Nusantara-an anda.
C: bagian yang mana?
N: di bagian kolong dan panggung anda.
C: saya masih belum begitu mengerti.
N: begini, arsitektur Nusantara adalah arsitektur yang melayang, berada di tengah-tengah antara dunia bumi dan langit, antara ibu bumi dan bapa akasa. Dalam mayoritas kepercayaan Nusantara, manusia dianggap hidup di dunia tengah, antara dunia atas dan dunia bawah. Sehingga ada ruang antara atap dan langit, dan ada ruang pula antara lantai dan bumi.
C: apa bedanya panggung dan kolong?
N: panggung mengacu di ruang di atas lantai, sedangkan kolong mengacu pada ruang di bawah lantai. Arsitektur panggung belum tentu berkolong, tetapi arsitektur kolong niscaya berpanggung. Maka, arsitektur Nusantara lebih tepat disebut arsitektur kolong, bukan arsitektur panggung.
C: anda tidak bisa menganggap saya berkolong seratus persen. Saya kan cuma punya sedikit kolong, itu pun hanya ruang sisa sebagai akibat dari container-container yang menjorok ke berbagai arah.
N: yups, itu memang betul. Ini perlu interpretasi yang sedikit rumit. Nama anda kan Contertainer, yang material utamanya container. Container-container itu jelas-jelas melayang dan pasti memiliki kolong. Keliru jika anda mengatakan punya sedikit kolong. Anda punya kolong yang penuh, hanya saja kolong itu sebagaian besar anda jinakkan, anda pakai untuk kegaiatan poli-gigi.
C: wowww, canggih juga interpretasi anda. Setahu saya, esensi saya adalah container, yang lain adalah tambahan saja.
N: tepat! bangunan beton yang menyangga anda itu seperti “frame” pada sebuah lukisan, bisa dianggap satu kesatuan yang utuh dengan lukisan, tetapi juga bisa dianggap sebagai entitas yang terpisah.
C: saya setuju, meskipun harus dengan berpikir keras, hehehe
Warna-warni
N: by the way, warna baju anda bagus.
C: ini bukan baju, ini container.
N: oh iya, maaf, saya lupa. Yang jelas, warna-warni container itu mengingatkan saya pada ornamentasi Nusantara juga.
C: jangan meracau bung, anda bisa melihat sendiri, sama sekali tidak ada ornamen yang melekat pada diri saya.
N: memang betul, saya melihat ornamen tidak dari ukirannya atau ragam-hiasnya, tetapi dari keberaniannya memakai warna.
C: maksudnya bagaimana?
N: warna-warni adalah ciri khas Nusantara, jika anda melihat wayang kulit atau wayang golek, kain tenun atau batik untuk pakaian adat, atau ragam hias di seantero Nusantara, semua berwarna-warni. Nature ornamen Nusantara adalah merayakan keberagaman warna.
C: benar juga, Nusantara tidak bisa lepas dari warna-warni.
N: sama dengan anda, tidak bisa lepas dari warna-warni juga. Anda menjadi terlihat lebih atraktif, bukan?
C: sepertinya begitu.
Kolom Miring
N: ada tampilan anda yang sedikit mengganggu pikiran saya, mengapa beberapa kolom-kolom luar anda kok miring dan bersilangan, tidak tegak?
C: pertanyaan yang bagus. Itu sama dengan jika saya bertanya: mengapa bubungan atap Nusantara seperti di Minang atau Toraja juga melengkung, tidak lurus?
N: di Nusantara, setahu saya melengkungnya atap itu memberi sentuhan feminin, keibuan. Melengkung itu menghindari gerakan frontal yang kaku, sehingga kesannya mengalir, lembut, menyejukkan.
C: oh, I know. Kolom-kolom miring ini membuat saya terlihat sensasional, dengan demikian saya merasa lebih sexy. Dan menurut saya, sexy itu feminin juga.
N: kalau begitu, berarti anda perempuan?
C: terserah, jenis kelamin saya kontekstual kok, tergantung sudut pandang dan interpretasi yang anda pakai.
Proses Kreatif
N: apakah anda tahu, bagaimana proses kreatif perancangan anda?
C: sederhana saja, hanya berpikir kidal.
N: berpikir kidal? maksudnya?
C: sekali-sekali berpikir dengan dengkul kiri. Jika saya dirancang dengan dengkul kanan, hasilnya mungkin tidak seperti ini.
N: hahahaha….terimakasih atas waktu luangnya, bung Contertainer. Saya mau mohon diri, saya tidak punya banyak waktu nih.
C: terimakasih juga dan selamat jalan, bung Nusantara, good luck!
Surabaya, akhir Februari 2009
www.dpavilionarchitects.com
sumber : http://arsiteknusantarabuku.blogspot.com/