Oleh:Ir. Eko Budihardjo, M.Sc
“The present situation of architecture is confused and puzzling. From the client we hear constant complaints about the architects’ lack of ability to statisfy him, from a practical as well as as from an aesthetical and economical point of view.
The authoritises give us to understand that it is often doubtful whether the architects are cualified to solve the problems whict society poses.
And the architects them selves disagree on issues so fundamental that their discussion must be interpreted as an expresson of groping uncertainty.
(Schulz, “intentions in architecture”, 1977)
PENGANTAR
Penemuan kembali identitas , dalam area yang penuh konflik, perubahan, dan kekacauan ini, rupa-rupanya semakin kita perlu dambakan baik sebagai individu maupun selaku warga dari suatu bangsa yang mengaku berbudaya tinggi.
Masalahnya, ada yang bilang masyarakat kita saat ini sedang menderita amnesia kultural.
Kesadaran budayanya hilang sehingga orang-orang bingung. Persis bingungnya orang-kaya-baru yang ingin menunjukan statusnya dengan memamerkan rumah pribadi ala istana orang putih. Lupa kalau kulitnya sendiri coklat atau hitam.
Timbulah kemudian apa yang dinamakan “archotectural gossip”. Kesemrawutan lingkungan buatan ditimpakan kepada para arsitek. Seolah kelompok arsiteklah yang paling pantas untuk dituding dengan menjamurnya bangunan bergaya moorish, dengan kolom dorik / lonik/ korintian, atau bangunan semacam kapsul ruang angkasa dan lain lain yang tidak ada silsilahnya di bumi indonesia. Padahal, beberapa persen sesungguhnya yang betul-betul terjamah oleh tangan arsitek profesional ?
Mengingat bahwa arsitektur adalah cermin masyarakat pendukungnya, arsitek bisa berkelit dengan dalih bahwa lingkungan fisik yang porak-poranda memang sudah secara benar, wajar, dan jujur menjadi resonansi dari sikon masyarakat kita saat ini. Dengan kata lain, bukan arsitek semata-mata yang harus dipersalahkan dan dikorbankan jadi kambing hitam melainkan masyarakat dengan seluruh sistem, tatanan, dan kelembagaanya.
Namun demikian para arsitek toh harus mawas diri juga. Dengan demikian kekwuatiran dan keprihatinan dari kelompok masyarakat yang masih sadar diri dan peka lingkungan tak hanya tinggal sebagai fakta melainkan sekaligus harapan.
Kita perlu berhenti sejenak dan menoleh kebelakang mengamati apa yang telah kita perbuat.
APA SALAH ARSITEK ?
Ternyata, kalau kita mau jujur sedikit saja para arsitek cukup banyak juga salahnya. Tak sedikit diantaranya yang terlalu terpukaudengan inovasi dan teknologi maju yang diagungkan sebagai cerminan modernitas. Estetika dilihat sekedar falsafah, tidak sebagai sesuatu yang bermakna lagi masyarakat sendiri.
Penekanan lebih condong pada struktur dan fungsi, sedangkan fiksi insitektural dan intrikasi visual, seperti yang biasa kita temui pada bangunan tradisional hanya dipandang dengan sebelah mata. Hasilnya : bangunan yang miskin dengan citra, kering-emosi asing dengan tapak tempatnya berdiri. Seolah jatuh begitu saja dari negeri anatah berantah.
Barangkali ada benarnya tudingan brolin “the vailure of modern architecture”, (studio vista, 1976) bahwa arsitek berlomba-lomba menciptakan monumen untuk dirinya sendiri, tanpa ambil memang, prosentase lingkungan buatan yang terjamah arsitek profesional mungkin tidak lebih dari 20%, tetapi angka yang sedikit itu memiliki pengaruh penangkaran yang besar sekali. Sebab suatu karya arsitektur, apalagi yang dirancang oleh arsitek terpandang akan merupakan suatu model. Lain dengan karya seni lukis misalnya. Seorang pelukis pelonco pun akan malu meniru lukisan picasso sedangkan suatu karya arsitektur yang mencuat akan banyak sekali kemungkinanya dijiplak (dengan beberapa modifikasi dan ‘peningkatanya’) tanpa si penjiplak merasa bersalah. Dalam bukunya ”transfomation in modern architecture” (secker dan warbour, 1980), dressler mengatakan bahwa : “ modern architecture tends to develop by procces of egration”. Jadi setiap hasil karya arsitek dapat membuka atau menutup peluang utnuk perkembangan arsitektur selanjutnya.
Faktor manusia sering pula diabaikan. Keberhasilan maupun kegagalan dari suatu karya arsitektur lebih banyak dinilai dari segi fisik dan visual daripada kaitanya dengan kekhasan dan perilaku manusia yang menggunakanya.
Waktu romo mangunwijaya dikritik oleh seorang arsitek muda bahwa gereja yang dirancangnya di klaten lebih mirip “ art gallery” daripada bangunan tempat ibadah dengan arif dijawabnya lewat pertanyaan “ pernahkah anda melihat gereja tersebut pada saat terisi umat manusia?
REGIONA LISME ARSITEKTUR TRADISIONAL
Tuntutan akan ‘makna’ (meaning) dari arsitektur kini semakin meningkat.
Ini merupakan tantangan bagi kita, merangsang kita untuk menggali sumber-sumber ya ng selama ini masih banyak yang terpendam. Salah satu sumber yang tak pernah kering adalah arsitektur tradisional yang masih kita miliki (sering juga disebut sebagai folk architecture, community architecture atau non pdeigreed architecture)
Kalau “sukulisme” di negeri kita berkonotasi negatib sebagai salah satu komponen SARA, maka regionalisme ‘dari arsitektur tradisional merupakan salah satu jalan keluar dari kemelut yang telah menimpa arsitetur modern gaya internationalyang telah dinyatakan meninggal beberapa waktu yang silam .
Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan dijewantahkan kembali ke dalam wadah yang baru .tetpi kita harus hati-hati.
“if we are to use the physi cal rema ens of the past as a fund of ex perience for the future ,it is essential that we under stand precisely whet they have to tell use” .
(martin bidle :conservation as”cultural survival”.1978)
Kekeerdilan penalaran kognitifdan kemiskinan penghayatan afektif atas nafas dan jiwa yang melambari arsitek tradisional selama ini telah mengakibatkan munculnya banguna-bangunan yang berpupur dan bedak tradisional ya,kormetiknya saja yang di ambil bukan sari dari totalitas jiwa raganya.
Komponen fisik dan wajahnya dipakai,tetapi falsafah tata nilai, lambang-lambang dan pemaknaan sosial dari benda benda (yang semuanya itu tidak kasat mata), terabaikan. Sebagai contoh : bangunan-bangunan beratap joglo (padahal laingit-langit ruang dalamnya rendah dan datar) atau bangunan berbentuk pendopo (padahal ruangnya dikelilingi rapat dengan tembok dan kaca) atau patung dan ukiran dekoratif yang dipajang sekedar sebagai tempelan (padahal paturng dan ukiran itu memiliki peran, makna dan aturan sendiri-sendiri).
Jadi, kita harus waspada. Kepercayaan, dan bahkan bahasa banyak kaitanya dengan tata ruang dan bangunan pluralisme dari suku, region, dan cerminanya dalam bentuk fisik lingkungan kiranya perlu masuk cakupan konseravasi, agar dapat diselamatkan, dileluri dan ditingkatkan. Konsep “ universalisme” dari arsitektur modern harus mulai ditinggalkan agar khasanah arsitektur indonesia yang serba ragam dapat lestari. Epithet from follow function perlu dimodifikasi from follow culture.
ENDAPAN MASA LAMPAU
Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya yang tak ternilai adalah merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut dan evolusioner. Kadang-kadang masyarakatdalam menerima berbagai pengaruh dan tekanan dari luar. Dalam hal inilah arsitek harus berperan aktif.
Konon pada saat masyarakat terbuai pada kejayaan masa lampau, arsitek malah melihat jauh kedepan. Sedangkan pada masyarakat ramai membicarakan masa mendatang. Arsitek justru berhenti melangkah dan menoleh kembali kemsa silam.
Sewajarnyalah demikian demikian.karena arsitektu berakar pada masa lampau, di rancang masa kini untuk kepentingan penggunaan masa depan.
Dengan demikian penghayatan atas pengendapan fenomena masa lampau merupakan kunci untuk membuka pintu keluar untuk ‘menuju arsitektur indonesia’.
Hanya saja masalahynya skarang, penelitian tentang arsitektur tradisional masih seperti ‘embrio’ sedang dilain pihak pengembangan dan perubahan berlangsung sangat cepat.
Perlombaan adu cepat antara “conservation vs, development” atau ”tradisi vs, modernisasi” berjalan berat sebelah.
Masalah tersebut di pergawat lagi dg berbagai masalah lain:
~belum membudidayakan tradisi apresiasi dan kritik arsitektur(baik terhadap kar ya lama maupun baru).
~penerbitan berkala arsitektur yg profesional (sbg wahana dialog antar arsitek) ataupun yang populer (sbg oskilator antara arsitek dan masyarakat) masih belum terbina dengan baik
~jarang, kalau tak boleh dikatakan tidak pernah ada eksbisi karya arsitek indonesia yang dinilai berhasil.
Uuntuk bisa betul-betul “menuju arsitektur indonesia”. segenap pihak harus ‘menggali kapak peperangan’ memerangi masalah-masalah tersebutdan ini merupakan perang yang akan makan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar