21.5.10

INDOCEMENT AWARDS 2010 DIMULAI

Indocement Awards 2010 terbagi ke dalam lima kategori yaitu:

* Indocement Contractor Award
* Indocement Developer Award
* Semen Tiga Roda Writing Competition Award
* Semen Tiga Roda Architectural Designwork Competition Award
* Semen Tiga Roda Concrete Competition Award


Pendaftaran dimulai 12 Maret 2010 sampai dengan 7 Juni 2010. Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, silakan akses http://www.indocementawards.com/ atau hubungi call-center Semen Tiga Roda di 0800-10-37632 atau 021-255 33 555.

14.5.10

Bayang-bayang karya arsitektur


bayang-bayang bukanlah layang-layang yang asyik untuk dimainkan, apalagi dayang-dayang. Bayang-bayang bukan berawal dari kata bayang melainkan kata lain dari bayangan. Mengambil kata bayang-bayang agar terkesan makna jamak bukan tunggal, karena efek yang ditimbulkan disini bukan hanya satu.

Uneg-uneg kali ini difigurakan dengan kalimat “bayang-bayang karya arsitektur” dikarenakan makna dari bayangan itu sendiri yang selalu mengikuti sebuah objek ketika objek itu terkena sinar/cahaya. Terang/gelapnya selalu mengikuti objek, semakin terang pencahayaan yang diberikan ke objek tersebut maka semakin gelap pula bayangan yang dihasilkan.

Pengertian yang berhubungan dengan lingkup arsitektur, berasal dari membayangkan sebuah karya, mengeksplore, mencorat-coret, mengkreasi, merubah, memperbaharui, meyakinkan, hingga meng’ada’kan. Bayang-bayang karya arsitektur disini terletak setelah karya tersebut menjadi ada. Sering disebut sebagai evaluasi pasca huni. Dari pada mengevaluasi mendingan menilik kembali sebelum meng’ada’kan. Kata bu dokter lebih baik mencegah daripada mengobati….

Untuk lebih jelas memahami makna dari bayang-bayang arsitektur, ada sedikit contoh kasus yang bisa dibahas kali ini.

Ketika berkeliling di lingkungan monumen nasional (beberapa kali), sekedar melihat-lihat dan ikut merasakan sebuah karya monumental. mengaguminya, begitu berwibawanya Indonesia saat itu, bersamaan dengan perancangan masjid istiqlal dan stadion gelora bung karno (tetap bung karno dari pada senayan). Seakan ingin menunjukan bahwa Indonesia itu ada dimata dunia tidak kalah dengan negara lain (dari segi pembangunan bukan yang lainya).… tapi sekarang… hmmm. Hanya bisa tersenyum dari nostalgia indonesia jaman dulu.

Monas salah satu taman terbaik dinegeri ini, dikatakan berhasil dan memberikan efek yang baik untuk lingkungan dan masyarakatnya. Sebagai public space, ruang terbuka hijau dengan penataan landscape memukau, permainan lighting yang membuat orang terkagum-kagum

Dari sekian banyak nilai plus yang sudah direncanakan ada beberapa hal yang sedikit kurang menyempurnakan untuk sebuah perancangan arsitektur, dilihat dari segi perkembangan perilaku masyarakat yang menggunakan monas sebagai ungkapan tak ‘menghargai’ monas sebagai salah satu contoh yang fatal, masyarakat justru menggunakan monas sebagai tempat untuk berpacaran, di luar kendali perencana arsitek. Tiap hari, tiap malam, tiap sudut , tiap keadaan remang, tiap tak ada patroli, sebagian masyarakat kita sudah menjadikan ajang mesum tak mengenal tempat dimanapun itu, budaya barat kini mulai merasuki ketimuran kita, merusak mindset beberapa pemuda, merusak mental pemuda, kini dosa mulai diumbar......

Bukan bermaksud menjelek-jelekan yang jelek, mencampuri yang lain. Tapi sebagai salah satu yang bergerak di bidang arsitektur merasa ketika merancang sebuah karya arsitektur agar tidak menghasilkan bayang-bayang arsitektur. Bayangkan ketika membuat sebuah karya, dan kemudian karya itu disalahgunakan, begitu sakitnya sang perencana.....(itu baru dari segi perasaan), tapi ketika berbicara tentang sebuah tanggung jawab akan karyanya untuk masyarakat, sungguh ironis... di satu pihak memberikan kesejukan berupa hal-hal yang baik dalam sebuah karya, di pihak lain ternyata masih ada panas yang membuat gerah bahkan hingga geram. Kembali membayangkan jika sebuah karya bisa menghasilkan sebuah dosa..... dimana peran arsitek di lumuran dosa tersebut....

Bisakah membayangkan karya arsitektur tanpa bayang-bayang karya arsitektur....? Biarkan bayang-bayang arsitektur dibayangi umur arsitektur.

11.5.10

pemenang 5 besar sayembara kbi solo














difoto; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

foto oleh : adit

TINJAUAN BUDAYA DALAM ARSITEKTUR DAN KOTA

TINJAUAN BUDAYA
DALAM ARSITEKTUR DAN KOTA
Oleh
Eko Budihardjo

Dalam era globalisasi di dunia tanpa batas ini, dengan perkembangan teknologi yang amat pesat, bermunculanlah karya tokoh-tokoh arsitek kelas dunia yang fenomenal di berbagai belahan dunia. Tidak hanya di negara-negara Barat seperti The Walt Disney Concert Hall di Los Angeles karya Frank Gehry yang dirancang dengan bantuan 30.000 gambar komputer. Atau Menara Markas besar Swiss Re di London karya Norman Foster yang berbentuk peluru raksasa (ada juga yang mengkonotasikannya dengan mentimun raksasa). Akan tetapi juga di negara-negara Arab seperti Menara Dubai karya Skidmore, Owings dan Merrill (SOM) yang memecahkan rekor sebagai arsitektur jangkung tertinggi di planet ini.
Atau bahkan di Republik Rakyat Cina seperti Stadion untuk Olimpiade tahun 2000 yang dirancang oleh Herzog dan de Meuron dan dikenal sebagai sarang burung raksasa.
Karya-karya yang provokatif, lepas dari ikatan konvensi, dan tanpa preseden itu disebut Charles Jeneks sebagai ‘Iconic Building’ (2005). Kita terbiasa menyebutnya dengan istilah ‘Arsitektur Mercu Suar’ dan ada pula yang mengistilahkannya ‘High-end Architecture’.
Karya-karya arsitektur garda depan dengan bahasa arsitektur yang sama sekali baru, sarat dengan loncatan quantum itu mencerminkan hasil pertarungan global yang makin dahsyat. Hampir semua pemimpin pemerintahan di dunia berambisi untuk mengangkat nama dan status negaranya masing-masing melalui pencitraan arsitektur. Bukan hal aneh, mengingat di masa lampau pun kecenderungan serupa juga terjadi. Misalnya Perancis yang membanggakan Menara Eiffel-nya, Inggris yang mengunggulkan Gedung Parlemen dengan Big Ben-nya, Australia yang amat tenar dengan Sydney Opera House-nya, Malaysia yang amat gencar mempromosikan Petronas Tower-nya.
Daftar bisa diperpanjang dengan bermunculannya karya-karya yang berlandaskan prinsip “Architecture is archeology of the future”.
Sudah terlalu lama orang bosan dengan merebaknya wabah ‘Manhattanization’ atau ‘McDonaldization’ dalam wujud bangunan-bangunan tinggi kotak kaca (glass box buildings) yang serba tunggal rupa. Bangunan-bangunan yang anonim itu, tidak bisa ‘bicara’ tanpa makna budaya dan tidak menyentuh senar-senar emosi.
Kiranya perlu disegarkan kembali bahwa arsitektur merupakan amalgam seni dan teknologi yang direkatkan dengan idealisme sosio-kultural dan energi kreatif.
Roger K. Lewis dalam bukunya “Architect?” (1998) secara eksplisit mengingatkan bahwa “Architecture is a building which is poetic in conception, aesthetically inspiring, structurally firm, environmentally sensitive, and meticulously crafted”. Kata-kata kunci: puitis, mengilhami, sensitif, kriya, merupakan ‘mantra’ yang mesti direngkuh oleh setiap arsitek sebagai pengawal peradaban.
Ketika organisasi pprofesi arsitek di Inggris pertama kali didirikan dengan nama Institute of British Architects di tahun 1834, disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah “To uphold ourselves the character of Architects as men of taste, men of science, and men of honour” (Conway & Roenisch, 2005).
Tujuan yang mulia seperti di atas masih tetap valid sampai saat ini, mengingat kenyataan adanya arsitek-arsitek yang melakukan pelacuran profesional.
Misalnya arsitek yang merancang bangunan baru dengan melecehkan, atau bahkan membongkar pusaka budaya (cultural heritage) yang ada. Atau arsitek yang bukan berul-betul mengemban amanah sebagai designer, namun puas hanya sekadar sebagai signer, karena perancangannya sudah ada sebelumnya, sebagai tiruan, contekan atau pesanan.
Padahal berbeda dengan dokter atau dukun bayi yang kesalahannya bisa dikubur bersama bayinya, tidak ada kuburan bagi karya arsitektur yang salah atau keliru.
Karya-karya arsitektur garda depan dalam Millennium Ketiga di era global ini disamping mengunduh pujian juga menumbuhkan gerakan kontra. Para arsitek muda dari negara-negara berkembang mengungkap tentang masalah jatidiri atau identitas, tradisi, dan kesinambungan budaya. Mereka mengritik keras perilaku tokoh-tokoh arsitek tandatangan (signature architects) yang tidak peduli terhadap iklim setempat, kearifan lokal, budaya lokal, dan sumberdaya lokal.
Muncul kecurigaan bahwa para arsitek asing yang berkelas dunia itu memanfaatkan negara-negara berkembang sebagai tempat bermain-main mereka dalam menerapkan gagasan eksperimentalnya dalam berarsitektur.
Para arsitek muda di Republik Rakyat Cina, misalnya, menuding bahwa arsitektur yang diciptakan oleh para arsitek asing itu sangat ‘tidak-China’, terlalu banyak menggunakan baja yang merupakan bahan langka, dan teramat mahal biayanya (Christian Dubrau, “New Architecture in China”, 2008).
Ketegangan antara tradisi versus modernisasi, masa lampau versus masa depan, jatidiri regresif versus progresif, budaya lokal versus budaya global, memang selalu akan terjadi. Tidak terkecuali dalam disiplin ilmu dan profesi arsitektur.
Ketegangan yang kreatif semacam ini merupakan tantangan yang harus dijawab oleh para arsitek di dunia tanpa batas ini. Dalam tulisannya berjudul “The Pleasure of Architecture” yang disunting oleh Andrew Ballantyne dalam buku “What is Architecture?” (2002), Bernard Tschumi mengatakan bahwa semakin banyak dan semakin canggih ketegangannya, semakin besarlah peluang untuk menggayuh ‘the pleasure of architecture’.
Sebagaimana Peter Eisenman, dia banyak berkiprah bersama Jacques Derrida dalam menyusun gagasan filosofis yang autentik dalam penciptaan karya-karyanya agar hidup, hangat, menyenangkan, merangsang, menstimulasi, mengilhami. Tujuan akhirnya adalah kebahagiaan umat dan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan manusia.
Sisi gelap dari imperialisme budaya akibat tekanan global yang dirisaukan oleh arsitek-arsitek muda dari negara-negara berkembang itulah yang harus disiasati dengan cerdas. Dibutuhkan ‘SMART architects’ dalam pengertian memiliki Sensitivity, Multiculturalism, Awareness, Respect, Tolerance.
Harus diakui dengan jujur, beberapa arsitek kelas dunia pun sudah mencoba untuk mengakomodasi dambaan untuk menggunakan alur historis, acuan budaya, bahkan referensi bernuansa agama dalam perancangan arsitekturnya.
Cesar Pelli, misalnya, dengan jujur mengatakan bahwa denah gedung Petronas Tower di Kuala Lumpur diilhami dari bentuk-bentuk dekoratif yang Islami.
Bandara Internasional Jeddah juga dirancang oleh arsiteknya sebagai transformasi bentuk tenda-tenda yang biasa digunakan di negara Arab.
Namun sebagian besar yang lain nyaris meninggalkan kaidah bahwa arsitektur mesti kontekstual, mempertimbangkan iklim, budaya, teknologi dan tuntutan sosial masyarakat terhadap ‘sense of historical continuity’ (Conway & Roenisch, “Understanding Architecture”, 2005).
Frank Gehry pun secara terbuka mengakui bahwa Museum Guggenheim yang dibangun tahun 1993 – 1997 di Bilbao, Spanyol (yang menular sebagai ‘Bilbao Effct’) seolah menjadi laboratorium untuk penciptaan Concert Hall di Los Angeles yang dibangun lima tahun kemudian (Charles Jencks, “The Iconic Building”, 2005). Berarti bentuk dan struktur arsitektur yang serupa tetapi dibangun pada dua negara yang berbeda, mengingkari prinsip genius loci dan sense of place.
Sekelompok arsitek Asia yang risau dengan kecenderungan homogenitas arsitektur dan kolonialisme budaya, bergabung dalam gerakan perlawanan. Mereka merasa kekayaan dan keberagaman peninggalan budaya masa silam yang adiluhung dilecehkan begitu saja.
Borobudur – Prambanan di Indonesia, Mesjid Suleyamaniye di Turki, Mohenjodaro di Pakistan, Forbidden City di Cina, seolah tidak ada artinya dalam pandangan arsitek Barat. Keberagaman bentuk-bentuk puitis atap bagonjong Minangkabau, tongkonan Toraja, honay Papua, joglo Jawa, dilirik dengan pandangan merendah. Falsafah dan konsep lokal yang terkandung dalam Tri Hita Karana Bali atau Kawruh Petungan Jawa, seolah terkubur begitu saja, cenderung dilecehkan oleh arsitek-arsitek berpendidikan Barat.
Fumihiko Maki dari Jepang, William Lim dari Singapura, Sumet Jumsai dari Thailand, Charles Correa dari India, merupakan figur-figur yang berpengaruh dalam pembentukan Asian Plannning and Architectural Collaboration (APAC) pada tahun 1980-an.
Pengaruhnya cukup besar, karena bahkan nama-nama besar seperti Paul Rudolph, Kenzo Tange, Ioh Ming Pei, Foster Associates, dan lain-lain semenjak itu lantas berupaya keras menciptakan karya arsitektur yang tanggap terhadap tempat, iklim, budaya, dan aspirasi lokal (baca buku Hasan-Uddin Khan, “Contemporary Asian Architects”, 1995).
Pemberian penghargaan Aga Khan Award for Architecture terhadap karya-karya unggulan dengan versi keunikan lokal dan regional, mentransformasi nilai-nilai vernacular, mengacu pada penciptaan identitas, juga sangat membesarkan hati.
Demikian juga dengan penerbitan majalah Mimar: Architecture in Development yang mengupas karya-karya arsitektur dalam kaitannya dengan kebudayaan, mempromosikan pertukaran lintas-budaya dan menyuguhkan sudut pandang yang majemuk atau pluralistic viewpoints.
Arsitek dan arsitektur di dunia tanpa batas ini mesti juga mengembangkan diskursus yang menyangkut isu-isu hangat seperti misalnya pemanasan global, perubahan iklim, pencegahan dan penanganan bencana.
Burj Khalifa atau Menara Dubai sudah diproklamasikan sebagai gedung terjangkung di dunia yang tahan gempa.
Pemerintah Taiwan bergegas ‘menyelamatkan’ prestasi Menara Taipei 101 (yang semula mmperoleh predikat prestisius itu) dengan mentransformasikannya menjadi ‘zero energy highest skyscraper in the world’ atau ‘Hypergreen Tower’.
Bagaimana dengan Indonesia?
Yang terasa sangat mengejutkan, biarpun sebetulnya juga cukup masuk akal, dalam buku ‘The Best Architecture in the World’ (2000) hanya ada dua yang masuk dari Indonesia. Yang pertama adalah Kompleks Citra Niaga di Samarinda, yang memadukan sektor formal dengan sektor informal, dan peka terhadap iklim tropis. Yang kedua adalah kawasan kampung Ledok Code di Yogyakarta yang memanfaatkan bahan lokal, tenaga lokal, artisan lokal, secara swasembada, namun tidak kehilangan nuansa estetiknya.
Kiprah gerakan alternatif seperti Arsitek Muda Indonesia dan arsitek nyeker (barefoot architects) yang mengikuti jejak Romo Mangun (Yusuf Bilyarta Mangoenwijaya), menambah optimisme ke depan.
Biarlah negara-negara adidaya dan negara-negara kaya berlomba-lomba membangun proyek-proyek mercusuar atau Iconic Buildings yang serba superlatif (paling tinggi, paling besar, paling luas, paling kuat, paling indah....).
Arsitek-arsitek di segenap pelosok tanah air memanfaatkan celah secara inovatif, kalau bisa menjadi pencipta kecenderungan (trend-setter). Kita pancangkan tekad dengan visi jangka panjang berkontribusi optimal agar Indonesia menjadi negara yang maju dan modern, tanpa kehilangan ruh dari tradisi yang sudah berusia panjang, demi kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSATAKA


Baker, William T. 2008. Architectural Excellence in a Diverse World Culture. Victoria: Image Publishing Group.
Ballantine, Andrew. 2002. What is Architecture? London: Routledge.
Conway, Hazel & Roenisch, Rowan: Understanding Architecture. London: Routledge.
Dubrau, Christian. 2008. New Architecture in China. Singapore: DOM Publishers.
Friedman, Thomas L. 2009. Hot, Flat, and Crowded. London: Penguin Books.
Hill, Jonathan. 2006. Immaterial Architecture. New York: Routledge.
Jencks, Charles. 2008. The Iconic Building. New York: Rizzoli.
Jodidio, Philip. 2005. Architecture: Art. Munich: Prestel Verlag.
Jodidio, Philip. 2007. Architecture in the Emirates. Koln: Taschen.
Khan, Hasan-Uddin. 1995. Contemporary Asian Architects. Koln: Taschen.
Lewis, Roger K. 1998. Architect? Cambridge: The MIT Press.
Piotrowski, Andrzej & Robinson, JW. 2001. The Discipline of Architecture. Minneapolis: UM Press.
Siling, Sabine Thiel, ed. 2005. Icons of Architecture: the 20th Century. Munich: Prestel.

dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

KOTA SEBAGAI OBYEK & KONTEKS ARSITEKTUR

KOTA SEBAGAI OBYEK & KONTEKS ARSITEKTUR
SANDI A. SIREGAR

Kota sebagai lingkungan binaan
Dalam Encyclopedia Americana dideskripsikan: “........ city merely means a relatively dense aggregation of population of considerable size, in which the conditions of life can be described as urban in contrast with the rural life of the open country.” Dalam hal ini kota adalah suatu fenomena civilized society. Yang paling umum “kota” dikaitkan dengan status administratif pemerintahan dengan batas-batas wilayah administratif. Dalam bahasa Indonesia “kota” berasal dari “koeta” (Sansekerta) yang mengacu ke tempat kekuasaan atau pemerintahan. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara “town”, yaitu any collection of houses larger than a village, dengan “city”, yaitu a large town. (Roget’s Dictionary) Bahasa Belanda menyebut town dengan “stad”, sedangkan city dengan “grote stad” yang berarti kota besar. Pada beberapa bahasa, kata untuk ‘kota’ juga menggambarkan dinding pertahanan, misalnya huruf Cina “ch’eng” berarti kota sekaligus dinding, dan kata Inggris “town” aslinya berarti hedge atau enclosure.
Pendekatan arsitektur ke dalam masalah perkotaan melalui aspek fisik-spasialnya. Winkler Prins Encyclopaedie menyebutkan: “Stad is een plaats, waar mensen meer of minder dicht samenwonen” , yaitu sebagai fenomena tempat yang dihuni. Ahli sejarah arsitektur Kostof, mengajukan beberapa pengertian yang semuanya dimulai dengan “Cities are places .......”, salah satunya adalah “Cities are places made up of buildings and people.” (Kostof, 1992, hal.37-40) Maka “kota” dilihat pertama-tama sebagai entitas fisik-spasial yang kongkrit, terdiri atas berbagai bangunan, pohon, tiang listrik, sungai, jalan, jembatan, dan lain-lain. Elemen-elemen fisik-material itu tertata sedemikian membentuk ruang-ruang luar sekaligus juga dalam bangunan. Di ruang-ruang itulah penghuni kota melakukan kegiatannya.
Identitas kota-kota Indonesia?
Banyak orang risau atas perkembangan kota-kota di Indonesia yang dianggap tidak berkarakter. Maka muncul gagasan-gagasan mengenai identitas kota yang idealistik dan ‘mono-characteristic’, seperti ‘indonesiawi’, ‘berakar pada tradisi’, atau bertolak dari dikhotomi seperti ‘Indonesia vs non Indonesia’, ‘asli vs asing’, ‘tradisional vs modern’, ‘barat vs timur’. Tetapi banyak konsep ‘ke-indonesia-an’ itu justru menepis realitas spesifik tiap tempat yang telah ada, lalu bangunan-bangunan peninggalan jaman kolonial pun dipandang tidak perlu dipertahankan. Padahal realitas itu mestinya merupakan issue awal untuk upaya memahami urbanitas Indonesia kontemporer.
Latar belakang sejarah kota-kota di Indonesia menentukan karakter atau identitas masing-masing, yang merefleksikan jalinan antara tradisi-budaya dengan lingkungan fisik-spasial. Maka sehubungan dengan perbedaan latar belakang itu, sulit dikatakan kota-kota di Indonesia merupakan fenomena yang homogen. Tentu saja kota-kota tersebut dapat ditinjau dalam konteks regional atau lokal. Begitu pun, walau kota-kota di Jawa berakar dari budaya Hindu, pengaruh Islam dan kolonialisme barat yang lebih kemudian juga besar, sehingga tidak ada gambaran kultural tertentu yang dominan. Apabila eksistensi elemen-elemen yang serupa pada kota-kota di Jawa dapat dikenali, misalnya alun-alun dan kabupaten, kauman, pecinan, perkembangan masing-masing telah menyebabkan kota-kota itu secara individual spesifik.
Latar belakang kota-kota tradisional
Para pendatang awal dari dunia barat agaknya tidak mengenali suatu konglomerasi permukiman dengan 50 ribu penduduk, yang pada abad 15-17 bukan suatu pengecualian di kepulauan nusantara, sebagai kota. (Evers, 1982, hal.8) Mungkin lingkungan hijau tanpa dinding jelas sebagai batas kota memberi kesan seperti kumpulan desa-desa. (Reid, 1980, hal.237). Juga sifat kurang permanennya ‘mengusik’ konsepsi barat tentang permukiman di Indonesia ratusan tahun lalu. Kota-kota pesisir tergantung pada kemajuan perdagangan laut, sedangkan kota-kota pedalaman, yang bertumpu pada pertanian, pada kekuasaan raja. (Nas, 1979, hal.154) Kekuasaan kota sejalan dengan monarki, yang terekspresikan pada tata letak kompleks istana dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Kota-kota menghilang bersama dengan suatu dinasti, atau tiba-tiba pindah ke tempat lain, termasuk bangunan-bangunan (dari kayu) (Van Mook, 1958, hal.277).
Kota Majapahit bukan kota yang keseluruhannya dikelilingi dinding, tetapi kompleks yang terdiri dari kelompok-kelompok rumah atau kampung kecil (compounds) dengan pelataran-pelataran. (De Graaf, Pigeaud, 1974) Bagian tengah dihuni oleh kepala kampung dengan keluarganya, dikelilingi rumah-rumah kerabat dan pelayan. Pelataran ditanami pohon-pohon, sehingga memberi kesan taman luas yang tepi-tepinya melebur ke persawahan dan perladangan. Dinding memang ada, khususnya mengelilingi istana penguasa (Pont, 1923). Dan istana penguasalah, bukan kota keseluruhannya, yang menyimbolkan pusat negara (Evers, 1982, hal.8). Beberapa ciri dari jaman Majapahit terdapat pada kota-kota di Jawa. Dengan kompleks keraton atau kabupaten dan alun-alun sebagai embrio, tata letak kota didasarkan pada orientasi kosmologis poros utara-selatan. Keraton dengan alun-alunnya tidak hanya mengenalkan aksialitas dan rektangularitas tata kota Jawa, tetapi sekaligus menentukan dimensi awal grid kota.
Ketika Majapahit jatuh pada akhir abad ke 15, kota-kota pelabuhan telah didominasi oleh pedagang-pedagang muslim yang telah ada sejak berabad di daerah pesisir utara Jawa. Transisi yang terjadi, setidaknya dalam hal bangunan dan seni, secara umum berlangsung damai. (Stutterheim, 1926) Omwallingsarchitectuur, prinsip dasar arsitektur keraton dan rumah-rumah Jawa, bahkan dituruti dalam pembangunan masjid-masjid (Jo-Santoso, 1981, hal.23). Posisi masjid diintegrasikan ke dalam tatanan alun-alun, keraton, pasar, poros utara-selatan. Perubahan paling radikal di daerah pusat kota adalah lenyapnya bangunan-bangunan sakral yang terbuat dari batu dan bata. (Pont, 1923, hal.123).
Perkembangan kota di jaman kolonial
Hanya beberapa kota di Indonesia yang sejak awal benar-benar mengikuti konsep urban Belanda. Salah satunya adalah Batavia, dimulai dengan pembangunan benteng Belanda di di muara sisi timur sungai Ciliwung awal abad ke 17, kemudian jaringan kanal yang mengikuti tradisi Belanda. Di pinggiran kota adalah perkampungan etnik Jawa, Ambon, Cina, dan sebagainya. Karena dianggap tidak sehat, kota tua Belanda itu ditinggalkan (1809). Suatu lingkungan Eropa yang baru pun dibangun, disebut Weltevreden, dengan dua lapangan (sekarang Medan Merdeka dan Banteng) yang dikelilingi bangunan-bangunan pemerintahan dan sosial.
Walau pun banyak kota yang ada kini mulai dibangun pada masa kolonial, inisiatif pola awal tatanannya dilakukan oleh penguasa pribumi. Belanda kemudian menyisipkan eksistensinya melalui bangunan-bangunan seperti benteng, kantor, dan rumah-rumah pejabat. Demikianlah, di kota-kota yang sudah ada maupun yang dibangun dari awal, elemen-elemen Belanda dimasukkan -superimposed- ke dalam tipomorfologi tradisional. Kota-kota tipikal kabupaten di Jawa pada jaman kolonial mencerminkan politik ‘indirect rule’ kolonialisme Belanda. Elemen-elemen pribumi (kabupaten, masjid, rumah-rumah pejabat pribumi dan kerabat bupati), dan rumah serta kantor asisten residen Belanda (dan penjara!) berada bersama-sama di inti kota. Kabupaten dan ‘istana’ asisten residen Belanda terletak berhadapan di sisi utara dan selatan alun-alun.
Pada tahun 1901 ratu Belanda mengumumkan Politik Etis, disusul dengan program desentralisasi. Tetapi desentralisasi kekuasaan kolonial itu sebetulnya malah meningkatkan kontrol kolonial di tingkat lokal, terutama di kota-kota. Ketika mulai tahun 1905 beberapa kota diberi status gemeente, pemerintahan kota praktis dikuasai oleh Belanda. Kota-kota gemeente inilah yang mengalami banyak perubahan, dari tradisional Indisch berkembang menuruti konsep modernistik Belanda. Tiap gemeente pun segera membuat rencana pengembangan kota (uitbreidingsplannen). Apabila di negeri-negeri koloni Inggris atau Perancis, lingkungan-lingkungan Eropa yang baru dan kota lama pribumi terpisah dengan tegas (Old Delhi - New Delhi!), kawasan baru yang modern (‘Belanda’!) di kota-kota Indonesia tetap menginduk ke kota lama (alun-alun). Ciri-ciri tradisional kota lama pun berbaur dengan elemen-elemen modern Eropa-Belanda. Gedung-gedung dibangun dengan berbagai corak modernistik maupun dengan identitas lokal/tradisional yang baru.
Perkembangan kota modernistik
Pada tahun-tahun awal dekade ‘50-an perusahaan-perusahaan serta properti Belanda lainnya dinasionalisasi, tanah dan rumah-rumah milik perusahaan maupun pribadi dijual atau diambil alih, maka kawasan permukiman Eropa menjadi hunian kalangan elit Indonesia. Di tahun ‘50-an inilah mulai diterapkan perencanaan kota bertumpu atas konsep zoning fungsional dan land-use. Kenneth Watts, seorang ahli PBB di Jakarta, dapat dianggap pembawa konsep modernistik dalam perencanaan kota di Indonesia pasca kemerdekaan. “Masterplan” didefinisikan: “.... a land use plan which indicates in broad lines the best possible place for home, work and recreation to the future benefit of the people who live in the city.” (Soepangkat, 1980) Forum Antar Kota di Surakarta (1958) sepakat menerapkan prinsip zoning dalam perencanaan kota (land use planning).
Dalam paruh pertama dekade ‘60-an, perkembangan politik mengarahkan proyek-proyek prestisius, sementara itu berlangsung pendudukan lahan-lahan kota secara tidak sah, yang nantinya membentuk lingkungan-lingkungan kampung kumuh. Ketika Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama orde baru dimulai (1969), semua program pembangunan kota dikoordinasikan dalam kerangka itu, dan perencanaan kota pun disejalankan dengan pembangunan ekonomi. Sejak usaha di bidang perumahan digalakkan pada awal dekade ‘70-an, lingkungan-lingkungan estat tumbuh pesat. Karena tidak diiringi perencanaan kawasan yang lebih menyeluruh, terbentuklah kantong-kantong perumahan kota yang terisolasi satu sama lain. Keadaan itu sedikit banyak merupakan akibat dari sikap memisahkan ‘perkotaan’ dan ‘perumahan’. Perumahan ditekankan pada produksi unit rumah, sedangkan perkotaan didasarkan pada prinsip ‘mesin’ yang berfungsi, bukan wadah kehidupan.
Pada awal dasawarsa ‘80-an, pembangunan fisik terhambat resesi ekonomi, tetapi sektor perumahan justru didorong menjadi stimulator ekonomi. Bisnis real estat pun mulai beroperasi di luar batas-batas kota yang dianggap lebih murah. Hasilnya adalah lingkungan-lingkungan perumahan yang tersebar, membentuk semacam mosaik suburban yang tidak utuh, terlepas dari struktur kota induknya. Suburbanisasi itu ditunjang oleh rencana-rencana memindahkan beberapa fungsi, misalnya kampus-kampus, ke pinggiran dan luar kota. Kota-kota satelit baru mulai dibangun juga di sekitar kota-kota besar. Sementara itu di kawasan kota berlangsung proses densifikasi yang intens. Memasuki dekade ‘90-an, sejalan dengan perkembangan ekonomi, pembangunan fisik skala besar pun meningkat. Pembangunan dalam skala superblock marak di kota-kota besar.
Kota sebagai lingkungan hunian
Program perumahan rakyat (public housing) yang sistimatis baru dilancarkan pada dekade kedua di kota-kota gemeente dalam rangka pengembangan kota. Rumah-rumah kecil (kleinwoningbouw) dibangun sebagai bagian lingkungan-lingkungan hunian yang baru, terjalin bersama dengan rumah-rumah lebih besar. Untuk menangani program-program tersebut pemerintah gemeente membentuk dinas-dinas khusus yang disebut grondbedrijf (urusan pertanahan), woningbedrijf (urusan perumahan) dan bouwbedrijf (urusan bangunan). Thomas Karsten, seorang arsitek perencana kota terkemuka, menganjurkan penataan lingkungan perumahan kota berdasarkan pada tingkat pendapatan ekonomi.
Salah satu kritik dalam masalah perumahan pada masa kini adalah justru penggolongan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok tingkat ekonomi, yang kemudian dijadikan dasar untuk produksi dan pen-zoning-an lingkungan-lingkungan perumahan kota. Ekses negatif prinsip itu telah dicoba diatasi dengan menetapkan proporsi produksi tipe-tipe besaran rumah, tetapi pelaksanaannya ternyata tetap berdasarkan segregasi ekonomis yang amat kuat. Pembangunan perumahan berorientasi pasar menghasilkan kawasan-kawasan perumahan luas hanya untuk satu kelas masyarakat tingkat ekonomi tertentu. Tentu hal ini ada hubungannya dengan kecenderungan gaya hidup masyarakat perkotaan masa kini, sehingga banyak lingkungan perumahan menjadi makin eksklusif (gated-community), yang bagaimana pun merupakan gejala sosiologis kurang sehat. Oposisi perumahan ‘mewah’ dan ‘sederhana’ mencerminkan cara berpikir dualistik atau dilematik tentang kota sebagai lingkungan hunian, yang di satu pihak merefleksikan polarisasi dan dekomposisi dalam kota-kota di Indonesia, di pihak lain simplifikasi realitas kota kontemporer yang sebetulnya amat kompleks.
Perdebatan tentang pembangunan ‘vertikal vs horisontal’ telah dimulai sejak inisiatif pembangunan rumah susun pada paruh kedua tahun 70-an. Masalah sosial budaya menjadi faktor penolakan tinggal di rumah susun, yang dianggap hanya cocok untuk kehidupan yang ‘individualistik’. Tetapi pembangunan vertikal agaknya tidak terelakkan akibat kebutuhan perumahan dan keterbatasan lahan kota. Pengembangan rumah susun juga memicu isu-isu menyangkut individualitas (privat) dan kolektifitas (publik). Rumah susun dikategorikan sebagai collective housing, yang terwujud dalam bagian-, benda-, dan tanah-bersama. Banyak aspek perkotaan yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan rusun, yang tentunya berbeda dengan landed housing. Bagi masyarakat Indonesia mestinya ‘kolektivitas’, yang dikandung oleh rumah susun, bukanlah hal yang asing. Sementara itu pembangunan RS dan RSS jauh di luar kota mengandung paradoks, karena penghuni harus menerima konsekuensi jauh dari tempat pekerjaan, sedangkan golongan mampu justru menikmati kemudahan tinggal di tengah kota.
Istilah “kampung” di jaman kolonial dikenakan untuk permukiman pribumi, yang disebutkan bersih dan tertata rapi, maka dijadikan obyek sight-seeing turisme kota. (Vereeniging tot nut ...., 1898, hal. 20) Akibat tidak tersentuh pelayanan perkotaan, kondisi kampung-kampung memburuk, maka program kampongverbetering (perbaikan kampung) dilancarkan. Setelah kemerdekaan, program perbaikan kampung dilaksanakan kembali pada akhir ‘60-an di Jakarta, disusul oleh Surabaya dan kota-kota lain, tetapi kemudian dihentikan karena dinilai terlampau menekankan aspek teknis-fisik, dan mengandung penggusuran terselubung, karena penduduk menjual miliknya yang telah menjadi lebih baik.
Kota sebagai arsitektur
Sebagai entitas fisik-spasial, suatu kota terbentuk mulai dari embrionya dan tumbuh pada berbagai tingkat skala besaran. Kemudian terjadi intervensi demi intervensi (bongkar-bangun) terus-menerus terhadap berbagai elemen fisik kota tersebut. Kegiatan mengecat rumah, memperbaiki lisplang atau jendela, membuat pagar, membongkar dinding, mengubah fasad, membangun gedung kecil dan besar, membuat jalan, menanam pohon dan rumput, dan sebagainya, adalah bentuk kolektif masyarakat (bersama-sama, bergenerasi) dalam pembentukan kotanya. Jadi, kota sebagai lingkungan binaan perlu disikapi sebagai fenomena transformasi, tumbuh dan berubah, secara cepat atau pun lambat : The city, ..........., is to be understood here as architecture. ..... architecture as construction, the construction of the city over time. (Rossi, 1982, hal.21) Secara akademis pertanyaannya memang ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ suatu kota mempunyai bentuk tertentu.
Keadaan suatu kota sekarang ini adalah rekaman sesaat proses perubahan terus-menerus itu. Tatanannya merupakan ujud kondisi dan sikap penghuninya bergenerasi, sejak awal embrionya. Banyak kota Indonesia menempuh tiga tahap besar: tradisional-Indisch, kolonial-gemeente, dan pasca kemerdekaan. Dalam proses itu ada bagian-bagian kota yang bertahan atau berubah. Banyak gedung dipertahankan, lainnya dengan mudah dibongkar tanpa protes masyarakat. Pada umumnya bangunan-bangunan rumah paling banyak mengalami perubahan bentuk maupun fungsi. Pembongkaran suatu blok kota, atau kebakaran suatu kampung, kemudian muncul di atasnya kompleks perbelanjaan dan perkantoran mewah, tentu mencuatkan isu ekonomis-politis. Jaringan jalan biasanya bertahan, kecuali ada intervensi besar-besaran terhadap tissue yang telah ada.
Bermacam alasan untuk mengubah bentuk dan mempertahankan elemen-elemen kota yang sudah ada. Dalam banyak hal keputusan-keputusan intervensi dalam pembangunan fisik kota memang bersifat ekonomis-sosial-politis. Isu perkotaan seringkali menyangkut masalah ruang, masalah public versus private dalam ruang kota, masalah hak-hak warga kota memanfaatkan ruang kota, masalah kebijakan dan proses pengambilan keputusan, masalah ‘pergulatan’ penghuni kota untuk hidup sejahtera di lingkungan kota, masalah menjadi warga kota yang semestinya. Peristiwa-peristiwa huru-hara disertai perusakan lingkungan fisik kota mungkin merupakan pelampiasan kekesalan masyarakat, sedikit banyak merupakan reaksi terhadap kondisi ruang kota. Setidaknya, bentuk dan tatanan lingkungan fisik kota dapat merupakan ujud suatu keadaan, sistim politik dan ekonomi yang berlaku, ketidak-adilan, kecurangan, ketidak-berdayaan, dan sebagainya.
Kota seharusnya dibangun sebagai wadah untuk kehidupan berbudaya. Maka mestinya Central Business District (CBD) bukan hanya menyangkut berdagang, bekerja, dan berbelanja. Wilayah pusat kota justru harus dibentuk menjadi lingkungan yang lengkap untuk berkehidupan madani, tempat museum, teater, perpustakaan, dan lain-lain berada. Ruang-ruang publik kota perlu dibuat agar mendorong kebersamaan dan komunikasi. Peran arsitek –dan wawasan arsitektur!- akan makin diperlukan dalam pembentukan ruang-ruang urban yang nyata bagi kemaslahatan masyarakat perkotaan. Demikianlah, arsitektur bukan luxury dan mestinya tidak disikapi demikian.
_______________________________________________________________________
Solo, 31 Maret 2010.
Sandi Siregar

DAFTAR PUSTAKA

• DE GRAAF, H.J., PIGEAUD, T.; DE EERSTE MOSLIMSE VORSTENDOMMEN OP JAVA, Studien over de Staakundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw; Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1974
• EVERS, Hans-Dieter; “Cities as a Field of Anthropological Studies in Southeast Asia”, SYMPOSIUM ON INDONESIA AS A FIELD OF ANTHROPOLOGICAL STUDY, Leiden, 1982.
• JO-SANTOSO, Suryadi; “Dinamika Perkembangan Arsitektur Jaman Prakolonial di Pulau Jawa”, dalam: CIPTA no. 57, 1981.
• KOSTOF, Spiro; THE CITY ASSEMBLED, the Elements of Urban Form through History; Thames & Hudson, London, 1992.
• NAS, Peter J.; “De Vroeg-Indonesische Stad: een beschrijving van de stadstaat en zijn hoofdplaats”, dalam: HAGESTEIJN, Renee; STOEIEN MET STATEN; ICA Publikatie no. 37, Instituut voor Culturele Atropologie en Sociologie der Niet-Westerse Volken, Rijks Universiteit Leiden, 1979.
• PONT, H. Maclaine; “Javaansche Architectuur”, dalam: DJAWA nr. 3, Sept., 1923 & nr. 4, Dec. 1923.
• REID, Anthony; “The Structure of Cities in Southeast Asia; fifteenth to seventeenth centuries”, dalam: JOURNAL OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES vol. XI nr. 2 September, 1980.
• ROSSI, Aldo; THE ARCHITECTURE OF THE CITY; The Institute for Architecture and Urban Studies & the MIT, Cambridge, Massachusetts, 1982.
• SIREGAR, Sandi A.; BANDUNG – THE ARCHITECTURE OF A CITY IN DEVELOPMENT : urban analysis of a regional capital as a contribution to the present debate on Indonesian urbanity and architectural identity.; disertasi, KU Leuven, Belgia, 1990.
• VAN MOOK; “Kuta Gede”, daslam: WERTHEIM, W.F. (ed), THE INDONESIAN TOWN, Van Hoeve, the Hague, 1958.
• VEREENIGING TOT NUT VAN BANDOENG EN OMSTREKEN; Reisgids voor Bandoeng en omstreken met Garoet; De Vries &Fabricius, Bandoengt, 1898.

dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

PENGARUH BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN RUANG KOTA SOLO SEJAK PERPINDAHAN KRATON S/D PERLETAKAN MOTIF DASAR KOTA KOLONIAL

PENGARUH BUDAYA DALAM PEMBENTUKAN RUANG KOTA SOLO
SEJAK PERPINDAHAN KRATON S/D PERLETAKAN MOTIF DASAR KOTA KOLONIAL
Oleh: Kusumastuti

Judul diatas akan mengarahkan kita kepada ranah ilmu arsitektur, urban disain atau perencanaan kota. Lantas dimana posisi budaya dan pengaruhnya terhadap pembentukan ruang kota. Berbicara budaya berkaitan dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Kuntjoroningrat bisa dibedakan atas 3 (tiga) unsurnya, yaitu(1) ide-ide atau norma; (2) perilaku; (3) artefak/ karya material. Adapun Kuntowijoyo membedakannya menjadi 2 (dua) yaitu nilai-nilai dan simbol. Nilai dimasukkan oleh Kuntowijoyo kedalam kebudayaan yang tidak kasat mata sementara simbol budaya merupakan perwujudan nilai yang kasat mata. Ini artinya bahwa perilaku manusia dan artefak masuk kedalam simbol-simbol budaya; dan nilai-nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan simbol-simbol budaya. Arsitektur adalah simbol budaya, seperti bangunan ibadah (candi, masjid, gereja, vihara), bangunan pasar, bangunan bank, bangunan rumah sakit, Bandar udara, terminal bus, bangunan pabrik, kampus universitas dsb.
Dari berbagai simbol-simbol budaya (kebudayaan) yang ada di kota, kita mengetahui bahwa kehidupan kota adalah suatu sistem. Bagaimana komponen-komponen bagian-bagian kota memiliki peran masing untuk mendukung fungsi kota, apakah sebagai kota pusat produksi (pertanian, industry, pertambangan dsb) atau sebagai kota pusat administrasi pemerintahan atau kota perdagangan dan jasa atau bahkan sebagai kota pusat keagamaan. Semakin kompleks fungsi atau peran suatu kota akan menuntut suatu sistem fungsi infrastruktur, organisasi, kualitas sumber-daya manusia yang semakin kompleks pula.
Betapapun canggih kebudayaan suatu bangsa, tidak bisa dipungkiri masyarakat-bangsa harus selalu bersandar kepada pemikiran bagaimana mereka mampu mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan, mereka harus selalu berpikir bagaimana mereka menjaga cara hidup mereka agar mampu menemukan cara-cara baru agar bisa bertahan, berkembang dan membangun. Mereka akan selalu harus menjaga sumber-sumber penghidupan yang penting, menemukan dan mengembangkan cara-cara yang lebih efisien (enersi, waktu, biaya) agar mereka mampu mengembangkan dan melaksanakan pembangunan untuk memakmurkan masyarakat bangsanya.


Kota sebagai Habitat dan Oikos
Kota sejak awalnya tidak bisa dipisahkan dari kebun atau ladang tempat bertani, dari binatang-binatang ternak. Sehingga kota sebagai permukiman selalu membutuhkan tiga fasilitas pendukung yaitu kandang ternak, lumbung untuk cadangan makanan dan tungku api untuk dapur bersama. Dan yang tidak bisa dilupakan adalah permukiman haruslah di lokasi dekat dengan sumber air bersih. Inilah yang menjadikan suatu ruang layak dihuni (Hedegger: Bewohnbarmachung des Raumes dalam Santoso, 2002: 6). Maka sebagai suatu habitat manusia, dengan permukiman sebagai intinya yaitu makanan, perlindungan dan pengembang-
an kehidupan.
Oikos merupakan kesatuan territorial tempat proses produksi dan reproduksi sebuah kelompok masyarakat dapat berlangsung dengan baik dan berkelanjutan. Oikos adalah tempat sekelompok manusia hidup bersama; mengatur proses produksi; distribusi dan reproduksi bersama; lalu berkembang menjadi kesatuan cultural. Didalam oikos, bukan saja teknologi dan struktur sosial yang berkembang melainkan juga bahasa, seni dan etika.
Pengertian Oikos ini akan menjelaskan bagaimana esensi fungsi kota sebagai permukiman manusia yang berperadaban. Oikos memiliki empat aspek yang disebut “4H”; pertama aspek “humus”, yaitu sebagai tempat produksi, atau tempat bumi membagi kesuburan; kedua, aspek “home” sebagai tempat tinggal, tempat berlindung bagi yang tua-renta, tempat penyembuhan bagi yang sakit dan perempuan yang mengandung, tempat melahirkan dan tempat membesarkan anak-anak, serta tempat berlindung dari cuaca dan iklim/ bencana; ketiga,aspek “homo” (homo sapiens), yaitu sebagai tempat manusia mengembangkan diri sebagai makhluk berakal dan berbudaya, bukan sekedar makhluk yang mempertahankan diri; keempat, aspek “habitat”, yang berarti satuan territorial, tempat yang diperlukan sekelompok manusia untuk menjalankan proses produksi dan reproduksi kehidupan tanpa gangguan dari luar. Dengan kata lain, oikos adalah wadah teritorial tumbuhnya suatu peradaban (Santosa, Budi P.I., Parwoto 2002 dalam Santoso, 2002: 14).

DESA SOLO dari BANDAR PERDAGANGAN menjadi OIKOS
Abad XIII-XIV, ketika kerajaan Majapahit masih berada pada puncak kejayaannya di Jawa Timur, transportasi sungai dipedalaman Jawa telah berlangsung. Sungai Bengawan Solo pada saat itu adalah jalur utama perdagangan dan pelayaran yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa dengan laut, atau sebagai jalur keluar dan masuknya pertukaran ekonomi dan peradaban antara pedalaman dan dunia luar. Maka tidaklah mengherankan bila sepanjang sungai Bengawan Solo telah tercatat dalam sejarah terdapat 44 bandar perdagangan, artinya itu menggambarkan betapa kaya wilayah ini mampu menghasilkan komoditi perdagangan dan mampu menumbuhkan kegiatan perdagangan yang sangat ramai.
Di desa Solo yang merupakan daerah perdikan yang dikuasai oleh dinasti Kyai Solo, terletak sebuah bandar perdaganan dan dibawah kekuasaan dinasti ini. Keramaian perdagangan dan pelayaran di Bengawan Solo membuat desa Solo mengalami peningkatan kesejahteraan. Interaksi meningkat seiring dengan aktivitas niaga. Para pedagang yang menyusuri sungai sebagai distributor barang-barang dari luar dan menampung produk-produk domestik bukan hanya terdiri atas orang-orang pribumi, akan tetapi juga orang-orang asing seperti Cina, Arab dan Moor. Para pedagang ini sebagai pelaku bisnis aktif dipedalaman Jawa terutama sejak penghancuran pelabuhan-pelabuhan di pesisir Jawa oleh Sultan Agung dan penerapan monopoli oleh VOC (Solo Heritage Society, 2003).
Para pedagang asing yang kemudian melayani perdagangan dan aktivitas niaga disepanjang Bengawan Solo ini juga memiliki tempat singgah tetap di setiap Bandar. Persinggahan tetap ini digunakan oleh mereka apabila harus menunggu persediaan produk yang akan dibawa, menjual habis produk yang diangkut dari daerah hilir maupun untuk menunggu arah angin bagi kepentingan pergerakan perahu mereka. Dalam perkembangan lebih lanjut, lokasi persinggahan itu berubah menjadi perkampungan orang asing. Di beberapa bandar sepanjang sungai itu bisa ditemukan sejumlah perkampungan pedagang Cina yang tinggal permanen disana. Di Solo, sejak tahun 1744 telah ditemui adanya komunitas pedagang Cina yang bertempat tinggal disebelah utara kali Pepe dan menjadi salah satu pusat penting yang memainkan peranan bagi perdagangan didaerah ini dan sepanjang Bengawan Solo (Solo Heritage Society, 2003).
Komunitas yang terdapat di desa Solo sendiri telah diketahui merupakan perpaduan antara komunitas pedagang dan petani. Para petani tradisional tidak banyak menunjukkan perkembangan; diduga hal ini berkaitan dengan letak desa Solo yang terletak di tanah yang rendah dan berawa-rawa . Sebelum pusat kekuasan kerajaan Mataram pindah ke desa Solo, di desa ini telah ada permukiman, antara lain kampung Sampangan yang dihuni etnis Madura, Kampung Banjar yang dihuni etnis Banjar Kalimantan, kampung Kebalen (etnis Bali), kampung Pasar Kliwon (etnis Arab). Maka kehidupan di desa Solo lebih kuat coraknya sebagai desa niaga atau komunitas dagang (Solo Heritage Society, 2003).
Desa Solo sebagai bandar perdagangan merupakan daerah perdikan yaitu suatu daerah otonom yang tidak memiliki kuajiban membayar pajak kepada penguasa kerajaan. Dengan keramaian kegiatan niaganya maka bandar ini memberikan penghasilan yang sangat baik bagi dinasti yang menguasainya. Namun sejak terjadinya geger Pecinan 1741 dan terbakarnya kraton pusat kerajaan Mataram di Kartosuro maka kepercayaan raja terhadap adanya mitos yang menganggap istana yang sudah dihancurkan oleh musuh tidak lagi pantas untuk dipakai sebagai pusat pemerintahan menyebabkan dipindahkannya keraton ketempat lain. Setelah melalui berbagai pertimbangan para penasehat dan ahli nujum serta nasehat dari kapten VOC maka akhirnya dipilihlah desa Solo sebagai lokasi keraton yang baru.


Gambar 1a
Sumber: Babad Sala

Gambar 1b
Sumber: Babad Sala

APLIKASI KONSEP KOTA “KOSMOLOGI” JAWA DALAM KOTA SOLO
Sebagai ibukota yang baru, kota (kuthonegoro) Surakarta (nama lain kota Solo) mempunyai sejumlah kekhususan dibanding dengan semua ibukota kerajaan pendahulunya dari Kota Gede sampai Kartosuro. Dilihat dari pola dan morfologi pusat kotanya, Surakarta tampak meniru pola yang ada di Kartosuro. Ini berbeda dengan Plered dan Kota Gede, karena letak geografisnya, kedua kota ini mengambil Gunung Merapi di utara dan Laut Kidul di selatan sebagai orientasi makrokosmosnya. Di Kartosuro hal ini tidak mungkin, karena lokasinya berada disebelah timur gunung Merapi. Sehingga kemudian dikembangkan sumbu timur-barat yang melintang alun-alun (lor) sejak pusat kota Kartosuro agar tidak kehilangan legitimasi spiritual. Di Surakarta sumbu timur-barat juga hadir. Meskipun tidak dalam satu garis lurus di tengah alun-alun karena adanya masjid Agung (Adrisijanti,2000).
Tatanan kosmologi kota kerajaan Surakarta diterangkan oleh Behren (1984: h dalam Solo Heritage Society, 2003) mengikuti pola lingkaran-lingkaran konsentris yang berpusat di Probosuyoso sebagai dalem Raja. Setiap lapis lingkaran diejawantahkan sebagai halaman-halaman kraton yang dibatasi oleh regol/kori. Lapis terdalam sampai Srimanganti, berikutnya Kamandungan, kemudian Brajanala, dan terakhir Sitinggil. Dengan demikian kraton mencitrakan dunia kosmos. (lihat gambar 2a dan 2b).



Gambar 2 a
Sumber : Timothy Earl Behrend, Kraton and Cosmos in Traditional Java, University of Wisconsin-Madison, 1982, halaman 182 (dalam Solo Heritage Society, 2003)

Gambar 2b
Sumber : Timothy Earl Behrend, Kraton and Cosmos in Traditional Java, University of Wisconsin-Madison, 1982, halaman 182 dalam Solo Heritage Society, 2003


KOTA SOLO sebagai KOTA KOLONIAL dengan “DUAL” KONSEP BUDAYA
Kota Solo merupakan sebuah peninggalan suatu perjalanan sejarah kebudayaan. Kuntowijoyo mengatakan, nilai-nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan. Sebuah pabrik, misalnya juga mengandung nilai budaya. Nilai itu ialah efisiensi, kerjasama terorganisasikan, pembagian kerja, dan hierarki sosial.
Sejak abad XVI orang-orang Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan mula-mula untuk berdagang, tapi kemudian menjadi penguasa. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pachuizen) untuk menimbun barang-barang dagangan (rempah-rempah). Pada awalnya mereka mendirikan di Banten, Jepara dan Jayakarta (Jakarta lama). Perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang memiliki modal besar mendirikan gudang-gudang dan kantor dagang, kemudian pada perkembangannya mereka membuat pengamanan dengan memodifikasinya menjadi benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat tinggal warganya. Sistem Pertahanan ini dimaksudkan untuk pertahanan dalam bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain .
Dalam kegiatan perdagangan ini, VOC tidak hanya menguasai jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir Jawa, tetapi mereka juga berusaha menguasai daerah pedalaman. Kebetulan kerajaan Mataram pada abad XVII-XVIII pusatnya selalu di pedalam Jawa dengan wilayah yang sangat luas dan merupakan wilayah yang subur. Kegiatan VOC mengintervensi kekuasaan kerajaan Mataran mulai terasa diwilayah Surakarta sejak pengambil-alihan keraton Kartosuro oleh PB II dengan bantuan VOC (kumpeni). Intervensi ini juga meninggalkan jejak sejarah dalam tata-ruang kota kerajaan yang dibangun kemudian sesudah pusat kerajaan pindah dari Kartosuro ke desa Solo. Kecerdikan VOC menerapkan konsep kebudayaan lewat tata ruang kota Solo menghasilkan sebuah konsep kota “dualism” yaitu kota dengan dua konsep kebudayaan; konsep kosmologi Jawa dan konsep kota kolonial. Hal ini tentu saja, untuk menghindari konflik / peperangan akibat konfrontasi budaya. Dibiarkan simbol-simbol budaya tetap berdiri dalam ruang, wadah kehidupan ibukota negara sementara VOC memperkuat cengkeraman kekuasaannya lewat pembangunan-pembangunan infrastruktur pertahanan seperti beteng, jalan militer, barak-barak militer sambil mereka melakukan pelemahan pada sisi kekuasaan kerajaan (tradisional) dengan melalui perjanjian-perjanjian yang tidak adil dan intervensi pada konflik-konflik keluarga keraton bahkan pengaturan kehidupan keluarga raja.
Konsep kota kolonial tidak bisa lepas dari budaya kolonial, dimana proses pengambilan keputusan (yang terjadi dinegara jajahan) terjadi di negara induk. Artinya di negara jajahan didominasi oleh sistem nilai, model, dan penyelesaian-penyelesaian masalah perkotaan di masyarakat metropolitan kolonial (lihat gambar. ). Para perencana kolonial tidak mempeduli-
kan dan cenderung menolak sistem nilai tradisional yang dipegang oleh penduduk pribumi. Di negara-negara jajahan dibawah Belanda dimulai ketika VOC menguasai perdagangan komoditi pertanian di Indonesia. Komoditi-komoditi yang dikuasai Belanda merupakan komoditi-komoditi pasar dunia, seperti, lada, vanilla, kopi, gula, nila, karet dsb. Kota-kota yang dikembangkan oleh VOC di Indonesia selalu didasarkan atas suatu konsep yang disebut “founded Settlement” atau cikal-bakal permukiman kolonial Belanda. Konsep ini terdiri atas tata-ruang dan elemen-elemen bangunan yang menganut pedoman dan petunjuk teknis yang dikendalikan dari Netherland yang diawasi oleh Gubernur Jendral, Residen dan para insinyur. Ini berhubungan dengan konsep kolonialisasi dimana terjadi hubungan dominansi-dependensi. Hubungan ini menunjukkan ketergantungan masyarakat yang dijajah dengan akibat penekanan fungsi militer dan administrasi.


Sumber : Solo Heritage Society (2003), Rekonstruksi dan Analisis Sejarah.

Gambar peta kota Solo tahun 1857- Tata Ruang Kota dengan konsep “dual” konsep budaya
Sumber: Solo Heritage Society (2003)

DAFTAR PUSTAKA
Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Jendela: Yogyakarta.
Kuntjoroningrat.1994-edisi 2. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.
Kuntowijoyo.2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Mizan: Bandung.
Sayid, RM. 1984. Babad Sala. Rekso Pustoko: Solo
Santoso, Jo.2002. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Centropolis: Jakarta.
Solo Heritage Society, 2003. Sejarah Dan Morfologi Kota Konflik: Dari Periode Kolonial-Orde Baru. (suatu hasil penelitian yang tidak/belum dipublikasikan).



dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010

Bangunan Baru di Kawasan Lama Bersejarah: Sebuah Sikap Berkota

Bangunan Baru di Kawasan Lama Bersejarah: Sebuah Sikap Berkota
Bambang Eryudhawan
Solo 31/03/2010
corbusier@hotmail.com

Tiap generasi memiliki tanggung jawab untuk memelihara, merawat warisan budayanya, sekaligus ikut menyumbang karyanya sendiri menurut karakter jamannya masing-masing. Dalam prosesnya, kota melakukan seleksinya secara alamiah untuk menentukan keberlangsungan sebuah warisan budaya untuk terus hadir mewarnai wajah kota, atau harus dikorbankan demi kemajuan kota itu sendiri. Kota memang tak mengenal kata “pulang” dan hanya mengenal kata “berangkat.”
Sebagaimana kita masih memerlukan pahlawan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kota pun memerlukan bangunan dan kawasan bersejarah. Bangunan dan kawasan bersejarah tidak saja penting untuk dirinya sendiri, namun juga menjadi tolok ukur kemajuan bagi sebuah kota yang dinamis, berpikiran ke depan dengan senantiasa menyertakan kearifan masa lalunya. Artinya, bangunan dan kawasan bersejarah adalah sebuah pedoman membangun peradaban yang bertujuan menyejahterakan masyarakatnya hari ini dan esok.
Pada gilirannya, bangunan dan kawasan bersejarah harus mampu menjadi batu loncatan bagi penciptaan karya-karya baru, mengikuti jejak pendahulunya, untuk kemudian diharapkan dapat menjadi tolok ukur pula di masa depan. Sebuah kota yang hanya mengandalkan warisan budaya tanpa mampu melakukan transformasi konstruktif bagi pembangunan peradaban yang progresif tentu harus menghadapi situasi kemandegan yang tidak akan memberikan keuntungan jangka panjang pada masyarakatnya. Sebuah proses bunuh diri kebudayaan tak dapat dihindarkan justru pada saat warisan budaya hanya dipoles-poles bak barang antik dan gagal menjadi inspirasi bagi kelangsungan hidup warga kotanya.
Sebagaimana juga ketika sebuah kota dibangun dengan penuh resiko, maka dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya pun selalu diwarnai dengan berbagai pengambilan keputusan yang beresiko pula. Kearifan masa lalu yang diperankan oleh bangunan dan kawasan bersejarah harus dianggap sebagai rem bagi kendaraan peradaban, sementara pembangunan baru adalah gas-nya. Kota yang terlalu banyak menggunakan rem dengan sendirinya akan banyak menghabiskan enerji tanpa mencapai jarak yang semestinya. Kota yang terlalu banyak menggunakan gasnya (tanpa atau dengan sedikit rem) berpotensi mengalami benturan-benturan budaya yang akan meninggalkan luka dan cedera laten.
Keseimbangan keduanya akan menentukan nasib sebuah kota. Dan keseimbangan itu sangat ditentukan oleh masyarakat kota itu sendiri sebagai pengemudi sekaligus penumpangnya. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang secara individu dan kolektif mampu berbagi peran secara demokratis, terbuka dan transparan berkeadilan, mampu merumuskan peta perjalanan kebudayaannya ke depan (bukan ke belakang!) dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan banyak orang (jiwa dan raga).
Maka kota yang tidak percaya pada masa depan adalah kota yang tidak percaya diri. Sebaliknya, kota yang terlalu percaya pada masa depan adalah kota yang angkuh dan sombong. Keduanya tentu bukanlah karakter kota Solo. Perjalanan sejarah kota Solo adalah sebuah proses belajar yang dinamis (dengan penuh coba-ralat) untuk mengerem dan mengegas. Ada kalanya harus berhenti, ada kalanya harus melaju cepat, ada kalanya harus mengurangi kecepatan, dan ada kalanya harus menaikkan kecepatan untuk mengejar ketinggalan. Setiap langkah pengambilan keputusan itu harus dipandang sebagai upaya kota Solo untuk “berangkat”, maju ke depan (menurut rencana perjalanannya), karena kota tak mengenal “pulang.”
Walau pun ukuran kemajuan akhirnya sangat ditentukan oleh berbagai faktor internal dan eksternal, namun sikap yang harus dibangun di kota solo (termasuk kota-kota lain di Indonesia) adalah sikap konservatif-progresif yang konstruktif (bukan destruktif). Kemauan untuk senantiasa melihat hari ini ke depan dengan bekal kearifan masa lalu (sebagaimana dicontohkan oleh PB X, misalnya), maka ada harapan generasi masyarakat kota Solo hari ini mampu menyumbangkan karyanya di jaman ini bagi kekayaan peradaban kota Solo seratus, dua ratus, bahkan lima ratus tahun ke depan (sepanjang masa!).
Tak ada kata terlambat, kita bisa mulai hari ini. ----------------------------------------------


dikutip; sewaktu pameran & seminar hasil karya arsitektur perancangan gedung kbi solo, april 2010